
Ada dua jenismusik yang diketepikan media arus utama dan khalayak berkebudayaan di Indonesia pada umumnya. Pertama,dangdut (termasuk akarnya, musik Melayu); kedua, pop cengeng.
KEDUA jenis musik ini diremehkan pada masa jayanya, disebut tak bermutu tanpa disimak dengan layak. Dan setelah mulai jadi kenangan, dilabeli ”lawas” di belakangnya, kita bahkan sulit menemukan ratapan atau obituari tentangnya. Kecuali, barangkali, beberapa komentar setengah putus asa di YouTube, oleh para penggemar yang tak biasa mengartikulasikan perasaannya dalam bahasa tertulis.
Musik-musik ini dianggap melayani selera buruk kelas bawah. Ia diejek kritikus kelas menengah snob di majalah-majalah musik, tak punya tempat di majalah-majalah remaja yang menjual gaya anak muda kota, dan tak cukup menarik perhatian koran/majalah arus utama dengan pembaca intelek (kecuali sangat sedikit dan biasanya penuh stigma).
Dan barangkali karena anggapan yang sama, oleh negara, kedua jenis musik itu bisa kita temukan secara bersamaan di acara-acara musik untuk khalayak banyak di TVRI, satu-satunya saluran TV di tiga perempat masa berkuasanya Orde Baru. Kita dapati para penyanyi dangdut dan pop cengeng berbagi panggung dan layar di acara semacam Aneka Ria Safari dan Album Minggu Kita. (Sementaramusik pop yang dianggap lebih berkelas ditayangkan di Selecta Pop.)
Baca Juga:Seribu Satu Malam di Bali
Pop cengeng dan dangdut mengalami persimpangan nasib pada akhir ’80-an. Beberapa tokoh Orde Baru mengekspresikan ketaksukaannya secara publik terhadap musik pop dengan syair penuh ratapan ini. Pada saat yang sama, mereka memuji dangdut sebagai ”musik asli Indonesia”. Secara politik, fenomena ini berbarengan dengan kecenderungan Orde Baru mendekat ke kalangan Islam. Dan itu bukan kebetulan.
Toh, kedua jenis musik ini, dengan satu dan lain cara, sama-sama terpukul sangat keras pada tahun-tahun terakhir Orde Baru. Dominannya MTV dan merajanya band-band pop/rock di paro terakhir ’90-an hanya menegaskan saja.
Di titik inilah kedua musik ini menunjukkan daya hidup yang berbeda.
Baca Juga:Dari Otomatisasi ke Konsumsi: Film dan Audiens di Hadapan Artificial Intelligence
***
Pascareformasi, dangdut mengalami kemerosotan di satu sisi, tapi menunjukkan kebangkitan di sisi lain. Jeblok di jalur formal (jumlah rekaman), dan ”rusak” oleh album-album remix, di masa ini dangdut masih menelurkan lagu/album yang kemudian menjadi klasik. Mata Air Cinta (1998) dari Meggy Z, Trauma (1999) dan Terguncang (2002) dari Yunita Ababiel, dan single ”Aku Rindu Padamu (Unplugged)” (2003) dari Evie Tamala untuk menyebut beberapa. Namun, semua itu tertutupi oleh kemunculan dua fenomena: Alam (Mbah Dukun, 2002) dan Inul Daratista (Goyang Inul, 2003). Nama terakhir kemudian menandai hadirnya dangdutkoplo dalam khazanah budaya pop kita.
Di pihak lain, kita sepertinya tak mendengar apa-apa lagi dari pop cengeng, menjelang maupun setelah milenium baru. Kurang dari satu dekade sejak para menteri menunjukkan kejijikannya pada musik ini, semuanya tiba-tiba jadi ”lagu nostalgia”. Setelah digusur oleh slow rock melankolis (berpuncak pada lagu-lagu Nike Ardilla) dan dipertegas oleh kehadiran rock Malaysia, pasca-’98 musik ini boleh dikatakan telah habis dikubur oleh berjayanya era band.
Betharia Sonatha, representasi paling menonjol dari musik ini, paling akhir mengeluarkan album yang bisa cukup dicatat pada 1995, Tak Mungkin Lagi, yang dalam beberapa hal sudah sedikit berbeda corak musiknya. Nama lain yang menonjol, Tommy J. Pisa, menelurkan album yang tak begitu diingat, Sarah, juga di tahun yang sama. Namun, kurang lebih di waktu yang sama pula Tommy bersama nama-nama lain seperti Endang S. Taurina dan Dewi Purwati justru mulai menyeberang ke dangdut.