Waruga adalah kuburan kuno orangMinahasa yang terbuat dari dua batu berbentuk segitiga dan kotak.[1] Keberadaannya memberitahukan tentang kebudayaan manusia diMinahasa pada masa lampau serta perkembangan teknologinya.[1] Waruga awalnya digunakan sebagai tempat penguburan dan pelaksanaan ritual kematian dalam kepercayaananimisme dandinamisme serta sebagai perlambang seni masyarakat Minahasa.[2] Pada masa kini, waruga dijadikan sebagai objek wisata pendidikan dan kebudayaan.[3]
Waruga berasal daribahasa Tombulu yaitu katawale danruga. Wale berarti rumah, sedangkanruga berarti hancur atau terbongkar. Penamaan ini didasari oleh bentuk waruga yang menyerupai rumah dan fungsinya adalah sebagai rumah penghancurjasad.[4] Waruga terbuat dari batu yang terbagi menjadi bagian atas dan bagian bawah. Bagian atas berbentuk segitiga dan menyerupaibubungan rumah, sedangkan bagian bawah berbentuk segi empat. Bagian atas merupakan penutup kubur, sedangkan bagian bawah menjadi tempat penguburan jenazah.[5] Batu yang dibuat menjadi waruga merupakan jenis batu lava basal yang semakin kuat bila berada di tempat terbuka.[6] Waruga terbagi menjadi ukuran kecil, sedang, dan besar. Ukuran kecilnya adalah 50cm × 50 cm × 100 cm. Ukuran sedangnya adalah 100 cm × 100 cm × 150 cm. Sedangkan ukuran besarnya adalah 150 cm × 100 cm × 145 cm. Batu untuk membuat waruga diperoleh dari letusanGunung Klabat danGunung Lokon.[7]
Waruga memiliki ornamen yang beragam dengan motif utamanya yaitu manusia, tanaman, hewan, dan bentukgeometri. Motif berupa manusia diukir dengan berbagai peristiwa kehidupannya, seperti melahirkan, menari dan berpakaian. Motif tanaman menampilkan buah-buahan, pepohonan, dedaunan danbunga matahari. Motif hewan menampilkan ukiran berbentuk ular, anjing,burung manguni dananoa. Sedangkan motif geometri menampilkan bentuk tumpal,pilinan ganda,meander, danswastika.[8]
Kompleks waruga banyak ditemukan diKabupaten Minahasa Utara.[9] Pada awalnya, waruga tersebar hampir di seluruh wilayah Minahasa. Pada tahun 1817, waruga disatukan menjadi kompleks di beberapa tempat.[5] Ada waruga yang masih dalam keadaan utuh dan ada yang telah rusak. Penempatannya ada yang berkelompok pada satu lokasi tertentu dan ada pula yang terpisah di kebun atau halaman rumah penduduk.[10] Seluruh bagian waruga berada di atas tanah.[7] Pada bagian dalam waruga terdapat berbagai barang yang menjadi bekal bagi jenazah yang dikubur. Barang-barang ini merupakan barang milik jenazah semasa hidupnya.[6] Posisi mayat menyerupai posisi jongkok. Mayat didudukkan dengan kepala menyentuh lutut dan tumit menyentuh pantat.[11]
Waruga digunakan sebagai tempat penguburan dan pelaksanaan ritual kematian. Keberadaannya mewakili kepercayaan masyarakat Minahasa pada masa lalu, yaitu animisme dan dinamisme. Selain itu, waruga juga menjadi perlambang seni masyarakat Minahasa baik secara sosial maupun secara individu.[2]Ornamen yang ada pada tiap waruga digunakan sebagai pengusir roh jahat, simbol kemakmuran atau pekerjaan dari jenazah semasa hidupnya.[12]
Waruga telah digunakan sejak abad ke-10 Masehi sebagai alatpekuburan massal. Penggunaannya mulai berakhir bersamaan dengan beralihnya kepercayaan sebagian besar masyarakat Minahasa ke agamaKristen.[9] Penggunaan waruga dimulai dari daerahLikupang, kemudian menyebar keTonsea. Setelah itu, waruga digunakan hingga keKabupaten Minahasa,Kabupaten Minahasa Selatan,Kabupaten Minahasa Tenggara, danKota Tomohon, Pada awal abad ke-20 Masehi, waruga tidak lagi digunakan sebagai alat untuk mengubur jenazah, tetapi dimanfaatkan sebagai objek wisata dancagar budaya.[13]
Masyarakat Minahasa meyakini bahwa kematian merupakan awal meuju ke dunia lain. Mereka meyakini bahwa jenazah akan dijemput oleh roh leluhurnya, sehingga memerlukan bekal perjalanan.[14] Waruga dijadikan sebagai tempat bersemayam sementara untuk para roh leluhurnya. Kualitas ukiran dari waruga ditentukan oleh jasa orang yang dikubur di dalamnya. Semakin berjasa seseorang, maka semakin bagus ukiran yang dibuatkan untuknya.[15] Waruga dijadikan sebagai alat pemersatu orang Minahasa dalam menyembahTuhan dan menghormati leluhur serta memberikan kesadaran tentang pentingnya suatu ikatan kekeluargaan.[16]