Bagian dariseri mengenai |
Transgender |
---|
![]() |
Masyarakat dan budaya |
Waria (lakuran dari katawanita danpria) atauwadam (lakuran dari katahawa danadam) ataujantina (lakuran dari katajantan danbetina) adalahlaki-laki yang lebih suka berperan dan berperilaku sebagaiperempuan dalamkehidupan sehari-harinya. Secara fisik, mereka adalah laki-laki (memiliki alat kelamin layaknya laki-laki), tetapi mereka mengekspresikan identitas gendernya sebagai perempuan. Keberadaan waria telah tercatat sejak lama dalamsejarah dan memiliki posisi yang berbeda-beda dalam setiapmasyarakat. Namun demikian, tidak semua waria dapat diasosiasikan sebagai homoseksual. Pilihan menjadi waria sama sekali tidak berhubungan dengan kondisi biologis (seksual) mereka, melainkan berhubungan dengan "kebutuhan" mereka untuk mengekspresikan identitas gendernya.
Sebutanbencong ataubanci juga dikenakan terhadap waria. Namun sebutan tersebut bersifat negatif dan terlalu kasar. Sedangkan terminologipriawan adalah kebalikan dari waria, yaitu pria yang secara biologis wanita, baik yang melakukan transisi ataupun tidak. Pada tanggal 16 Februari 2015 Para Priawan Indonesia mendeklarasikan Persatuan Priawan Indonesia, sebagai wadah dan Jaringan kerja antar priawan dan pusat informasi mengenai priawan Indonesia.
Umumnya, para waria bekerja di sektor informal seperti mengamen, menjadi pegawai salon, tukang pijat, dan lain-lain. Di beberapa kota besar, seperti Yogyakarta misalnya, kerap dijumpai para waria mengamen di lampu merah, di warung-warung pinggir jalan, hingga di pasar. Masyarakat umum bahkan ada yang mengasosiasikan pekerjaan waria sebagai Pekerja Seks Komersial (PSK) karena kebiasaan mereka yang gemar keluar malam.
Namun demikian, baik identitas sebagai waria maupun pekerjaan yang sedang mereka tekuni, sering dianggap negatif oleh masyarakat. Identitas gender waria dianggap melanggar kodrat Tuhan hingga negara, melalui MUI, mengeluarkan fatwa bahwa keberadaan waria adalahharamDiarsipkan 2019-04-03 diWayback Machine.. Stereotipe negatif yang dialamatkan kepada waria tidak jarang ada yang berbuah menjadi tindakan kekerasan. Tidak sedikit waria yang pernah mengalami kekerasan, baik fisik maupun verbal, ketika sedang menjalankan pekerjaan atau sedang melakukan aktivitas lain seperti mengikuti seminar.
Masyarakat Indonesia secara umum berada di dalam lingkungan dengan kerangkaheteronormatif yang menjadi pondasinya. Kerangka tersebut percaya bahwa hanya ada dua identitas seksual berikut konstruksi gender yang mengikutinya, yaitu laki-laki dan perempuan. Menurut kerangka tersebut, laki-laki sewajarnya berpasangan dengan perempuan dan sebaliknya. Ketika muncul identitas gender lain di luar laki-laki danperempuan (seperti waria), maka akan dianggap tidak normal, aneh, dan menyimpang. Terlebih lagi, ketika waria tersebut juga seorang pecinta sesama jenis (gay), stereotipe negatif tersebut akan semakin sering dialamatkan kepada mereka. Frame heteronormatif tersebut menjadi awal mula munculnya beragam stereotipe negatif berikut perlakuan kasar yang dialamatkan oleh masyarakat kepada waria.
![]() | Artikel bertopik manusia ini adalah sebuahrintisan. Anda dapat membantu Wikipedia denganmengembangkannya. |