Bangunan wihara Jakarta Dhammacakka Jaya, sebuah wihara aliranTheravāda pertama diJakarta.Vihara Buddha Guna, sebuah wihara di bawah binaanSaṅgha Theravāda Indonesia, di Kompleks Puja MandalaKuta, Badung, Bali, Indonesia.
Wihara (Pali:vihāra;Sanskerta: विहारvihāra) umumnya mengacu pada tempat ibadah untuk penganutBuddhisme, sebagian besar dianak benua India. Konsep wihara dapat ditemukan dalamKitab Buddhis Awal, katawihara berarti "penataan ruang" atau "fasilitas tempat tinggal/berdiam".[1][2] Istilah ini berkembang menjadi konsep arsitektur yang mengacu pada tempat tinggal para biksu dengan ruang atau halaman terbuka bersama, khususnya dalam Buddhisme. Istilah ini juga ditemukan dalam Ajivika, sebuah literatur agama Hindu dan Jainisme, yang biasanya mengacu pada perlindungan sementara bagi para biksu yang mengembara selama musim hujan tahunan di India.[1][3][4] Dalam Jainisme modern, para petapa Jain terus mengembara dari kota ke kota kecuali pada musim hujan (catumāsa), dan istilah "vihāra" mengacu pada pengembaraan mereka.[5][6]
Wihara adalah rumah ibadah agama Buddha, bisa juga dinamakantemple ataumonastery. Kelenteng adalah rumah ibadah penganutagama tradisional Tionghoa,Taoisme, danKonfusianisme (Konghucu). Akan tetapi, di Indonesia, oleh karena adanya suatu kepercayanTridharma yang merupakansinkretisme antara Buddhisme, Taoisme, dan Konfusianisme, maka tempat ibadah yang merupakan gabungan dari ketiga agama tersebut juga sering disebut sebagai "wihara".[7] Salah satu contohnya adalah Vihara Kalyana Mittaya yang terletak di daerah Pekojan, Jakarta Barat.
Kelenteng dan wihara pada dasarnya berbeda dalamarsitektur, umat, dan fungsi. Kelenteng umumnya berarsitektur tradisionalTionghoa dan berfungsi sebagai tempat aktivitas sosial masyarakat, selain fungsi spiritual. Wihara umumnya berarsitektur lokal dan mempunyai fungsi spiritual saja. Namun, wihara juga ada yang berarsitektur tradisional Tionghoa seperti pada wihara Buddhis aliranMahayana (Buddhisme Tionghoa) yang memang berasal dariTiongkok.
Perbedaan antara kelenteng dan wihara kemudian menjadi rancu karena peristiwaG30S pada tahun1965. Imbas peristiwa ini adalah pelarangankebudayaan Tionghoa, termasuk kepercayaan tradisional Tionghoa, oleh pemerintahOrde Baru.[8] Kelenteng yang ada pada masa itu terancam ditutup secara paksa. Sebagai akibatnya, banyak kelenteng yang kemudian mengadopsi istilah daribahasa Sanskerta ataupunbahasa Pali. Hal ini ditunjukkan dengan pengubahan nama-nama kelenteng menjadi "vihara" atau "wihara" yang surat izin operasionalnya dicatat dalam naungan agamaBuddha demi kelangsungan peribadatan. Dari sinilah kemudian umat awam semakin sulit membedakan kelenteng dengan wihara.
Setelah Orde Baru digantikan olehOrde Reformasi, banyak kelenteng yang kemudian mengembalikkan namanya ke nama semula yang berbau Tionghoa dan lebih berani menyatakan diri sebagai kelenteng alih-alih sebagai wihara. Kendati demikian, beberapa kelenteng tidak berganti nama dengan tetap menggunakan istilah "wihara". Beberapa lainnya kemudian dibina oleh Majelis Agama BuddhaTridharma Indonesia (MAGABUTRI) agar tetap mendapatkan pengajaran agama Buddha.
^abVihara, Monier Monier Williams, Sanskrit-English Dictionary Etymologically Arranged, Oxford University Press, p. 1003
^"He now undertook what were described as 'dharma yatras' instead of the usual royal 'vihara yatras'. Vihara yatras were marked by pleasures such as the hunt" inNayanjot Lahiri (2015).Ashoka in Ancient India. Harvard University Press. hlm. 181–183.ISBN978-0-674-91525-1.