Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 | |
---|---|
![]() Naskah UUD 1945, diterbitkan pada tahun 1946. | |
Ikhtisar | |
Yurisdiksi | ![]() |
Penyusunan | 1 Juni – 18 Agustus 1945 |
Penyampaian | 18 Agustus 1945 |
Tanggal berlaku | 18 Agustus 1945 |
Sistem | Republikkesatuan |
Struktur pemerintahan | |
Cabang | 3 |
Kepala negara | Presiden |
Lembaga legislatif | Bikameral (MPR, terdiri dariDPR danDPD) |
Lembaga eksekutif | Presiden, dibantu olehmenteri kabinet |
Lembaga kehakiman | MA,MK, danKY |
Lembaga lain | BPK |
Federalisme | Kesatuan |
Kolese elektoral | Tidak ada |
Pembatasan amendemen | 1 |
Sejarah | |
Pembentukan badan legislatif | 29 Agustus 1945(KNIP) 15 Februari 1950(DPR) |
Pembentukan badan eksekutif | 18 Agustus 1945 |
Pembentukan badan peradilan | 18 Agustus 1945 |
Amendemen | 4 |
Amendemen terakhir | 11 Agustus 2002 |
Referensi | UUD 1945 Asli(PDF) UUD 1945 Satu Naskah(PDF) |
Lokasi dokumen | Arsip Nasional,Jakarta |
Penetap | PPKI |
Perumus | BPUPK |
Jenis media | Dokumen teks tercetak |
Naskah lengkap | |
![]() |
Penyuntingan Artikel oleh penggunabaru atauanonim untuk saat initidak diizinkan. Lihatkebijakan pelindungan danlog pelindungan untuk informasi selengkapnya. Jika Anda tidak dapat menyunting Artikel ini dan Anda ingin melakukannya, Anda dapat memohonpermintaan penyuntingan, diskusikan perubahan yang ingin dilakukan dihalaman pembicaraan,memohon untuk melepaskan pelindungan,masuk, ataubuatlah sebuah akun. |
Artikel ini adalah bagian dari seri |
Politik dan Ketatanegaraan Republik Indonesia (Negara Kesatuan Republik Indonesia) |
---|
![]() |
Hukum |
Pemerintahan Pusat |
Pemerintahan Daerah |
Politik Praktis |
Kebijakan luar negeri |
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (disingkatUUD 1945; terkadang juga disingkatUUD '45,UUD RI 1945, atauUUD NRI 1945) adalahkonstitusi dansumber hukum tertinggi yang berlaku diRepublik Indonesia. UUD 1945 menjadi perwujudan dari dasar negara (ideologi) Indonesia, yaituPancasila, yang disebutkan secara gamblang dalam Pembukaan UUD 1945.
Perumusan UUD 1945 dimulai dengan kelahiran dasar negaraPancasila pada tanggal 1 Juni 1945 dalam sidang pertamaBPUPK. Perumusan UUD yang rill sendiri mulai dilakukan pada tanggal 10 Juli 1945 dengan dimulainya sidang kedua BPUPK untuk menyusun konstitusi. UUD 1945 diberlakukan secara resmi sebagai konstitusi negara Indonesia olehPPKI pada tanggal 18 Agustus 1945. Pemberlakuannya sempat dihentikan selama 9 tahun dengan berlakunyaKonstitusi RIS danUUDS 1950. UUD 1945 kembali berlaku sebagai konstitusi negara melaluiDekret Presiden yang dikeluarkan olehPresiden Soekarno pada tanggal 5 Juli 1959. Setelah memasuki masa reformasi, UUD 1945 mengalami empat kali perubahan (amendemen) dari tahun 1999–2002.
UUD 1945 memiliki otoritas hukum tertinggi dalam sistem pemerintahan negara Indonesia, sehingga seluruhlembaga negara di Indonesia harus tunduk pada UUD 1945 dan penyelenggaraan negara harus mengikuti ketentuan UUD 1945. Selain itu, setiapperaturan perundang-undangan di Indonesia tidak boleh bertentangan dengan UUD 1945.Mahkamah Konstitusi berwenang melakukan pengujian atasundang-undang, sementaraMahkamah Agung atas peraturan di bawah undang-undang, yang bertentangan dengan ketentuan UUD 1945.[1]
Wewenang untuk melakukan pengubahan terhadap UUD 1945 dimilikiMajelis Permusyawaratan Rakyat, seperti yang telah dilakukan oleh lembaga ini sebanyak empat kali. Ketentuan mengenai perubahan UUD 1945 diatur dalam Pasal 37 UUD 1945.
UUD 1945 telah mengalami perubahan struktur yang signifikan semenjak UUD 1945 diamendemen sebanyak empat kali. Bahkan, diperkirakan hanya 11% dari keseluruhan isi UUD yang tetap sama seperti sebelum adanya perubahan UUD. Sebelum diamendemen, UUD 1945 terdiri atas:[2]
Setelah diamendemen, UUD 1945 saat ini (menurut Pasal II Aturan Tambahan UUD 1945) terdiri atas:[2]
Meskipun bagian "Penjelasan UUD 1945" tidak disebutkan secara formal dari UUD 1945 setelah perubahan keempat, isi-isi dari bagian Penjelasan telah diintegrasikan secara materiel ke dalam Batang Tubuh dan masih menjadi bagian tidak terpisahkan dari UUD 1945.[3]
Berikut ini merupakan struktur UUD 1945 dalam satu naskah (setelah amendemen keempat).
Pembukaan UUD 1945 merupakan bagian pendahuluan dari UUD 1945 yang berupa teks empatalinea. Setiap alinea dalam Pembukaan mempunyai makna yang berbeda-beda, yaitu:[4]
Batang Tubuh UUD 1945 merupakan bagian isi dari UUD 1945 yang berupa pasal-pasal dan ayat-ayat. Batang Tubuh terdiri dari 16 bab, yang terdiri dari 37 pasal atau 194 ayat. Materi muatan Batang Tubuh ini berisi garis-garis besar berupa identitas negara,lembaga tinggi negara,warga negara,sosial ekonomi,hak asasi manusia,demografi, dan aturan perubahan UUD.
Bab I terdiri dari satu pasal atau 3 ayat. Bab I (yang hanya terdiri dari Pasal 1) menyatakan bentuknegara Indonesia sebagainegara kesatuanrepublik,kedaulatan negara berada di tanganrakyat, dan sistem negara Indonesia sebagainegara hukum.
Bab II terdiri dari dua pasal atau 5 ayat. Bab II mengatur hal-hal mengenai lembagaMajelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (MPR-RI atau MPR). Isi Bab II berdasarkan pasal-pasal, yaitu:
Bab III terdiri dari 17 pasal atau 38 ayat, sehingga menjadi bab dengan jumlah pasal dan ayat terbanyak di dalam UUD ini. Bab III mengatur hal-hal yang menyangkutPresiden danWakil Presiden Republik Indonesia. Isi Bab III berdasarkan pasal-pasal, yaitu:
Setelah amendemen keempat, isi Bab IV dihapuskan. Dengan kata lain, keberadaanDewan Pertimbangan Agung (DPA) dihapuskan dari struktur Pemerintahan Indonesia. Peran DPA digantikan oleh suatu dewan pertimbangan seperti yang disebutkan dalam Bab III Pasal 16 UUD 1945.
Bab V terdiri dari satu pasal atau 4 ayat. Bab V (yang hanya terdiri dari Pasal 17) mengatur hal-hal mengenai lembaga-lembagaKementerian Negara.
Bab VI terdiri dari tiga pasal atau 4 ayat. Bab VI mengatur hal-hal mengenaipemerintahan daerah di Indonesia, khususnyapemerintahan daerah provinsi, kabupaten, dan kota. Isi Bab VI berdasarkan pasal-pasal, yaitu:
Bab VII terdiri dari 7 pasal atau 18 ayat. Bab VI mengatur hal-hal utama mengenai lembagaDewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR-RI atau DPR) dan pembentukanundang-undang (UU). Isi Bab VII berdasarkan pasal-pasal, yaitu:
Bab VIIA terdiri dari dua pasal atau 8 ayat. Bab VIIA mengatur hal-hal mengenai lembagaDewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD-RI atau DPD). Isi Bab VIIA berdasarkan pasal-pasal, yaitu:
Bab VIIB terdiri dari satu pasal atau 6 ayat. Bab VIIB (yang hanya terdiri dari Pasal 22E) mengatur pelaksanaanpemilihan umum di Indonesia.
Bab VIII terdiri dari 5 pasal atau 7 ayat. Bab VIII mengatur hal-hal yang berhubungan dengankeuangan negara. Isi Bab VIII berdasarkan pasal-pasal, yaitu:
Bab VIIIA terdiri dari tiga pasal atau 7 ayat. Bab VIIIA mengatur hal-hal mengenai lembagaBadan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia (BPK-RI atau BPK). Isi Bab VIIIA berdasarkan pasal-pasal, yaitu:
Bab IX terdiri dari 5 pasal atau 19 ayat. Bab IX mengatur segala hal mengenai lembaga dankekuasaan kehakiman di Indonesia. Isi Bab IX berdasarkan pasal-pasal, yaitu:
Bab IXA terdiri dari satu pasal atau satu ayat. Bab IXA (yang hanya terdiri dari Pasal 25A) mengatur wilayahNegara Kesatuan Republik Indonesia.
Bab X terdiri dari tiga pasal atau 7 ayat. Bab X mengatur pengertian, hak, dan kewajiban dariwarga negara danpenduduk Indonesia. Isi Bab X berdasarkan pasal-pasal, yaitu:
Bab XA terdiri dari 10 pasal atau 26 ayat. Bab XA memuat segalahak asasi manusia (HAM) yang dijamin oleh UUD ini. Isi Bab XA berdasarkan pasal-pasal, yaitu:
Bab XI terdiri dari satu pasal atau dua ayat. Bab XI (yang hanya terdiri dari Pasal 29) menyatakan bahwa negara berdasar atasKetuhanan Yang Maha Esa dan mengatur jaminan kebebasanberagama danberibadat sesuai agamanya.
Bab XII terdiri dari satu pasal dan 5 ayat. Bab XII (yang hanya terdiri dari Pasal 30) mengatur sistempertahanan dankeamanan negara, terutama mengenai satuanTentara Nasional Indonesia (TNI) danKepolisian Negara Republik Indonesia (Polri), serta keterlibatan warga negara dalam usaha pertahanan dan keamanan negara.
Bab XIII terdiri dari dua pasal dan 7 ayat. Bab XIII mengaturpendidikan nasional untuk warga negara dan kemajuankebudayaan nasional. Isi Bab XIII berdasarkan pasal-pasal, yaitu:
Bab XIV terdiri dari dua pasal dan 9 ayat. Bab XIV mengatur garis-garis besarperekonomian nasional dan programkesejahteraan sosial. Isi Bab XIV berdasarkan pasal-pasal, yaitu:
Bab XIV terdiri dari 5 pasal dan 5 ayat. Bab XV memberi penjelasan atas beberapa identitas negara Indonesia. Isi Bab XV berdasarkan pasal-pasal, yaitu:
Bab XVI terdiri dari satu pasal dan 5 ayat. Bab XVI mengatur ketentuan-ketentuan untuk mengubah UUD ini.
Aturan-aturan peralihan memberikan ketentuan-ketentuan kepada pemerintah agar penyesuaian dengan perubahan-perubahan pada UUD 1945 dapat berjalan dengan mulus. Aturan-aturan tersebut, yaitu:
Aturan-aturan tambahan memberikan ketentuan-ketentuan tambahan yang tidak perlu disisipkan pada aturan utama dan aturan peralihan. Aturan-aturan tersebut, yakni:
Penyusunan rancangan UUD 1945 dilakukan secara bertahap olehBadan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK), yaitu badan yang dibentuk dengan izin Jepang pada tanggal 29 April 1945.[5]
Sidang pertama BPUPK, yang dilaksanakan dari tanggal 28 Mei hingga 1 Juni tersebut, menghasilkan gagasan "dasar negara", dengan mengacu pada rumusan "Pancasila" yang digagas olehSoekarno. Selain itu, sidang ini juga menghasilkan kesepakatan untuk membentukPanitia Sembilan yang akan membahas lebih jauh mengenai gagasan tersebut agar menghasilkan rumusan yang matang.[6] Satu setengah bulan kemudian, tepatnya pada tanggal22 Juni1945, Panitia Sembilan yang telah mengadakan sidang-sidang akhirnya merampungkan rumusan dasar negara tersebut dan menamakannyaPiagam Jakarta. Naskah piagam inilah yang menjadi naskah Pembukaan UUD 1945.
Setelah itu, sidang kedua BPUPK yang berlangsung dari tanggal 10–17 Juli membahas perihal piagam tersebut dan komponen-komponen negara, seperti bentuk negara, bentuk dan susunan pemerintahan, kewarganegaraan, bendera dan bahasa nasional, dan sebagainya. Setelah beberapa perdebatan mengenai Piagam Jakarta, akhirnya BPUPK merampungkan naskah rancangan Undang-Undang Dasar (UUD) yang terdiri dari Pembukaan UUD yang mengacu pada Piagam Jakarta dan Batang Tubuh UUD yang berisi komponen-komponen tersebut.[7][8]
Setelah Soekarno memproklamasikan kemerdekaan Indonesia pada tanggal17 Agustus 1945,Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) yang merupakan kelanjutan dari BPUPK mengadakan sidang pertamanya pada tanggal 18 Agustus. Sidang tersebut kemudian menghasilkan, salah satunya, penetapan rancangan Pembukaan dan Batang Tubuh UUD yang dihasilkan BPUPK sebagaiUndang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang sah. Namun sebelum itu, PPKI melakukan beberapa perubahan pada naskah UUD hasil rancangan BPUPK, terutama pada bagian-bagian yang dianggap lebih menonjolkan agama Islam. Perubahan-perubahan tersebut di antaranya:[9][10]
Dalam kurun waktu 1945–1950, UUD 1945 tidak dapat dilaksanakan sepenuhnya karena Indonesia sedang disibukkan dengan perjuangan mempertahankan kemerdekaan pada masaRevolusi Nasional Indonesia. Maklumat Wakil Presiden Nomor X pada tanggal16 Oktober 1945 memutuskan bahwa kekuasaan legislatif diserahkan kepadaKNIP, karena MPR dan DPR masih belum terbentuk. Pada tanggal14 November setelahnya, Soekarno membentukkabinet semiparlementer yang pertama (karena adanya jabatan Perdana Menteri di dalamnya), sehingga peristiwa ini merupakan peristiwa perubahan pertama dari sistem pemerintahan Indonesia yang seharusnya seperti yang disebutkan dalam UUD 1945.
Setelah Indonesia dan Belanda beberapa kali melakukan pertempuran dan perjanjiangencatan senjata, pada tanggal23 Agustus hingga2 November1949, perwakilan Republik Indonesia,Belanda, danMajelis Permusyawaratan Federal (BFO) bentukan Belanda melakukan pertemuan di diDen Haag (Belanda) yang disebutKonferensi Meja Bundar (KMB) untuk perjanjian damai terakhir kalinya dengan Belanda. KMB tersebut menghasilkan kesepakatan bahwa kedaulatan negara Indonesia akan diberikan kepadaRepublik Indonesia Serikat (RIS) dan diakui oleh Belanda. RIS kemudian terbentuk pada tanggal27 Desember 1949. Oleh karena hal ini, UUD 1945 dibatalkan secara otomatis setelah negara tersebut berdiri.
SetelahRepublik Indonesia Serikat (RIS) dibentuk dan Indonesia menjadi negarafederasi, konstitusi yang digunakan adalahKonstitusi Republik Indonesia Serikat (Konstitusi RIS),[11] sedangkan UUD 1945 masih digunakan tetapi dalam lingkup negara bagian "Republik Indonesia". Konstitusi RIS ini tidaklah bertahan lama dan akhirnya dicabut pada tanggal 15 Agustus 1950,[12] yang diikuti dengan pembubaran negara RIS dan kembalinya Indonesia menjadiNegara Kesatuan Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus.
Setelah peralihan tersebut, Indonesia memberlakukanUndang-Undang Dasar Sementara Republik Indonesia (UUDS 1950). Oleh karena itu, UUDS 1950 mengenal sistem pemerintahan Indonesia sebagaisistem parlementer. Setelah beberapa tahun berlaku, Indonesia pada tahun 1955 melaksanakan pemilihan umum untuk pertama kalinya dalam dua tahap, yaitupemilihan anggota DPR pada tanggal 29 September danpemilihan anggota konstituante pada tanggal 15 Desember.[13][14]Konstituante Republik Indonesia yang terdiri atas anggota-anggota terpilih pemilu tahap kedua tersebut bertugas mengadakan sidang-sidang untuk membahas dan merumuskan rancangan UUD yang baru menggantikan UUDS 1950. Namun badan tersebut tidak dapat menghasilkan rancangan UUD baru dan bahkan sebagian besar anggotanya berencana untuk menarik diri dari sidang konstituante. Keadaan genting ini memaksa Soekarno mengeluarkanDekret Presiden 5 Juli 1959 yang membubarkan badan Konstituante Republik Indonesia, memberlakukan kembali UUD 1945 dan membatalkan UUDS 1950, serta membentuk MPR dan DPA sementara secepatnya.[15][16]
Setelah pemerintah mengeluarkan Dekret Presiden 5 Juli 1959, UUD 1945 yang sempat tidak berlaku selama sembilan tahun akhirnya kembali berlaku sebagai konstitusi negara.[17] Akibat pemberlakuan ini, jabatanPerdana Menteri Indonesia dihapuskan dan sistem pemerintahan Indonesia kembali menganutsistem presidensial sesuai amanat UUD 1945.
Pada masa Demokrasi Terpimpin, terdapat berbagai penyimpangan terhadap UUD 1945. Penyimpangan-penyimpangan tersebut di antaranya ialah:[18][19]
Pada masaOrde Baru, pemerintah menyatakan akan menjalankan UUD 1945 dan Pancasila secara murni dan konsekuen.[20] UUD 1945 juga menjadi konstitusi yang sangat "sakral", di antara melalui sejumlah peraturan, yaitu:
Meskipun penyimpangan UUD 1945 secara eksplisit tidak tampak pada zaman Orde Baru, terdapat beberapa penyimpangan Pancasila sebagai dasar dari UUD 1945 yang dilakukan oleh pemerintahan Orde Baru. Penyimpangan-penyimpangan tersebut, yakni:[21][22]
Setelah pemerintahan Orde Baru jatuh dan masa reformasi dimulai, terdapat banyak tuntutan untuk melakukan pengubahan pada naskah UUD 1945. Alasan adanya tuntutan perubahan UUD 1945 tersebut antara lain karena kenyataan bahwa kekuasaan tertinggi bukan di tangan rakyat tetapi di tanganMPR yang dikuasai pemerintah, kekuasaan yang terlalu besar pada presiden, banyaknya pasal-pasal yang menimbulkan multitafsir, serta kenyataan bahwa isi rumusan UUD 1945 yang mengatur penyelenggaraan negara yang belum cukup. Latar belakang dari tuntutan tersebut dapat dilihat dari bukti bahwa banyaknya penyimpangan-penyimpangan UUD 1945 yang dapat terjadi di masa-masa sebelumnya. Oleh sebab itu, MPR mengadakan sidang-sidang umum yang menghasilkan perubahan (amendemen) UUD 1945 sebanyak empat kali.[23][24][25]
Setelah amendemen, dampak yang paling terasa adalahpembagian kekuasaan yang lebih setara dan seimbang, tidak ada lagi lembaga pemerintahan tertinggi, sehingga lembaga pemerintahan yang diatur di dalam UUD 1945 menjadilembaga tinggi negara yang masing-masing dapat saling mengawasi dan bekerja sama tetapi tidak boleh mengontrol satu sama lain. Lembaga-lembaga tersebut juga memiliki wewenang, batasan, dan cara pengangkatan yang lebih jelas setelah amendemen, sehingga lembaga-lembaga tersebut dapat menjalankan peran yang semestinya. Selain itu, adanyahak-hak asasi manusia (HAM) yang diatur dalam UUD 1945 menjadikan HAM sebagai salah satu tujuan konstitusi.[26]
Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 merupakan proses untuk mengubah salah satu atau beberapa pasal yang terdapat dalam Batang Tubuh UUD 1945. Perubahan UUD ini merupakan salah satu wewenang dariMPR-RI yang diatur dalam UUD 1945. Sepanjang sejarah, MPR telah melakukan empat kali pengubahan pada UUD 1945.
MeskipunSoekarno sendiri sebagai Presiden Indonesia pertama mengeluarkandekret presiden untuk memberlakukan kembali UUD 1945, beliau selalu menganggap bahwa UUD 1945 merupakan konstitusi yang tidak lengkap. Namun semenjakSoeharto menjabat sebagai presiden pada tahun 1967, pemerintahan rezimOrde Baru selalu menolak menyetujui bentukperubahan (amendemen) apa pun itu terhadap UUD 1945. Mereka menganggap bahwa UUD 1945 merupakan konstitusi yang bersifat final dan "kemurniannya" harus tetap dilindungi.[27] Pada tahun 1983, MPR, melaluiKetetapan MPR Nomor I/MPR/1983, menetapkan posisi untuk tidak melakukan pengubahan pada UUD 1945. Meskipun begitu, MPR juga mengatur ketentuan untuk mengubah UUD 1945 pada ketetapan MPR yang sama. Namun, ketentuan tersebut menyebutkan syarat keharusan untuk mengadakanreferendum yang telah disetujui oleh Presiden atas rancangan amendemen UUD yang telah diloloskan oleh MPR.[28] Terlebih lagi, UU No. 5 Tahun 1985 yang mengatur tentang referendum atas perubahan UUD 1945 menyatakan bahwa referendum tersebut harus mencapai partisipasi pemilih minimum sebesar 90% dan hasil suara dukungan minimum sebesar 90% agar proses amendemen dapat dilanjutkan dan perubahan UUD dapat disahkan.[29] Peraturan-peraturan ini membuat pengubahan UUD 1945 semakin sulit dilakukan, dan selain itu juga dianggap bertentangan dengan Pasal 37 UUD 1945 yang tidak pernah menyebutkan tentang referendum.
Setelah kejatuhan rezim Soeharto pada tahun 1998, ketetapan MPR dan UU tersebut dihapuskan, sehingga membuka jalan yang lebih lebar untuk dilakukannya amendemen UUD 1945. Akhirnya pada tahun 1999–2002, UUD 1945 mengalami perubahan (amendemen) sebanyak empat kali yang seluruhnya diputuskan dalam sidang-sidang umum MPR.
Berkaca dari penyimpangan-penyimpangan UUD 1945 yang terjadi pada masa Demokrasi Terpimpin dan Orde Baru, salah satu tuntutan demonstrasi penuntutreformasi adalah dilakukannya perubahan (amendemen) terhadap UUD 1945. Alasan-alasan terbesar UUD 1945 diamendemen, yaitu karena pasal-pasal dalam UUD 1945 asli yang jumlahnya terlalu sedikit dan mudah menimbulkanmultitafsir. Sementara itu, tujuan dari perubahan-perubahan UUD 1945 tersebut sebagian besar berupa penyempurnaan atas aturan-aturan dasar seperti tatanan negara, kedaulatan rakyat,hak asasi manusia,pembagian kekuasaan, eksistensi negarademokrasi dannegara hukum, serta hal-hal lain yang sesuai dengan perkembangan aspirasi dan kebutuhan bangsa. Perubahan UUD 1945 dilakukan dengan beberapa syarat, di antaranya adalah Pembukaan UUD 1945 tidak boleh berubah, bentuk negara tetap dalam bentuknegara kesatuan, serta sistem pemerintahan tetap dalam bentuksistem presidensial. Kata "Allah" dalam Pembukaan UUD 45 masih dimungkinkan untuk diamandemen menjadi "Tuhan", sesuai perjanjian usulan yang diterima olehSukarno dan kelompok kebangsaan dari perwakilanBali,I Gusti Ketut Pudja, namun hal ini belum dilakukan pada masa amandemen Konstitusi tahun 1999-2002.[30][31]
Sebelum amendemen, ketentuan perubahan di dalam UUD 1945 hanya memberikan syarat bahwa anggota MPR yang hadir dalam sidang pengubahan UUD harus berjumlah dua pertiga (2/3) dari keseluruhan anggota dan putusan perubahan UUD hanya bisa dilakukan bila mendapat persetujuan dari 2/3 anggota MPR.
Setelah perubahan keempat, ketentuan perubahan UUD tersebut menjadi lebih mendetail. Suatu usulan perubahan dapat diagendakan dalam sidang MPR bila diajukan oleh sepertiga (1/3) dari keseluruhan anggota dan usulan tersebut harus dituliskan secara mendetail. Dan sama seperti sebelum amendemen, anggota MPR yang hadir dalam sidang pengubahan UUD harus setidaknya 2/3 dari jumlah anggota. Namun tidak seperti sebelumnya, putusan perubahan UUD hanya bisa dilakukan bila mendapat persetujuan dari 50% ditambah satu anggota dari keseluruhan jumlah anggota MPR. Selain itu, terdapat ayat pembatasan perubahan UUD (entrenchment clause) yang menyatakan bahwa khusus bentuk "Negara Kesatuan Republik Indonesia" tidak dapat diubah.
Berikut ini merupakan daftar perubahan UUD yang telah disahkan sebagai bagian dari UUD 1945 yang utuh dan tidak terpisahkan.
Perubahan Pertama Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 disahkan dalam Rapat Paripurna MPR ke-12 pada tanggal19 Oktober1999, yang merupakan rangkaian dari Sidang Umum (Tahunan) MPR Tahun 1999 yang berlangsung pada tanggal14–21 Oktober 1999. Perubahan ini secara garis besar bertujuan untuk membuat kekuasaan legislatif dan eksekutif lebih seimbang dan sejajar, serta membatasi masa jabatan Presiden.[32][33]
Dalam perubahan pertama ini, MPR mengubah beberapa pasal, yaitu Pasal 5 Ayat (1), Pasal 7, Pasal 9, Pasal 13 Ayat (2), Pasal 14, Pasal 15, Pasal 17 Ayat (2) dan (3), Pasal 20, dan Pasal 21.
Perubahan Kedua Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 disahkan dalam Rapat Paripurna MPR ke-9 pada tanggal18 Agustus2000, yang merupakan rangkaian dari Sidang Umum (Tahunan) MPR Tahun 2000 yang berlangsung pada tanggal7–18 Agustus 2000. Perubahan tersebut utamanya bertujuan melakukan penguatanotonomi daerah, penguatan peran legislatif, jaminan HAM dalam konstitusi, penguatan peran TNI dan Polri, dan penambahan identitas nasional.[32][33]
Dalam perubahan kedua tersebut, MPR mengubah dan/atau menambahkan beberapa pasal dan bab, yaitu Pasal 18, Pasal 18A, Pasal 18B, Pasal 19, Pasal 20 Ayat (5), Pasal 20A, Pasal 22A, Pasal 22B, Bab IXA, Pasal 25E,[b] Bab X, Pasal 26 Ayat (2) dan Ayat (3), Pasal 27 Ayat (3), Bab XA, Pasal 28A, Pasal 28B, Pasal 28C, Pasal 28D, Pasal 28E, Pasal 28F, Pasal 28G, Pasal 28H, Pasal 28I, Pasal 28J, Bab XII, Pasal 30, Bab XV, Pasal 36A, Pasal 36B, dan Pasal 36C.
Perubahan Ketiga Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 disahkan dalam Rapat Paripurna MPR ke-7 pada tanggal9 November2001, yang merupakan rangkaian dari Sidang Umum (Tahunan) MPR Tahun 2001 yang berlangsung pada tanggal1–9 November 2001. Perubahan ini terutama memberi penguatan pada kekuasaan kehakiman (yudikatif) agar sejajar dengan kekuasaan legislatif dan eksekutif, menambah DPD ke dalam susunan lembaga legislatif, memperbarui kelembagaan BPK, dan memperjelas mekanisme demokrasi dalam tata negara.[32][33]
Dalam perubahan ketiga ini, MPR mengubah dan/atau menambahkan beberapa pasal dan bab, yaitu Pasal 1 Ayat (2) dan (3); Pasal 3 Ayat (1), (3),[b] dan (4);[b] Pasal 6 Ayat (1), dan (2); Pasal 6A Ayat (1), (2), (3), dan (5); Pasal 7A; Pasal 7B Ayat (1), (2), (3), (4), (5), (6), dan (7); Pasal 7C; Pasal 8 Ayat (1) dan (2); Pasal 11 Ayat (2) dan (3); Pasal 17 Ayat (4); Bab VIIA, Pasal 22C Ayat (1), (2), (3), dan (4); Pasal 22D Ayat (1), (2), (3), dan (4); Bab VIIB, Pasal 22E Ayat (1), (2), (3), (4), (5), dan (6); Pasal 23 Ayat (1), (2), dan (3); Pasal 23A; Pasal 23C; Bab VIIIA, Pasal 23E Ayat (1), (2), dan (3); Pasal 23F Ayat (1) dan (2); Pasal 23G Ayat (1) dan (2); Pasal 24 Ayat (1) dan (2); Pasal 24A Ayat (1), (2), (3), (4), dan (5); Pasal 24B Ayat (1), (2), (3), dan (4); serta Pasal 24C Ayat (1), (2), (3), (4), (5), dan (6).
Perubahan Keempat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 disahkan dalam Rapat Paripurna MPR ke-6 pada tanggal10 Agustus2002, yang merupakan rangkaian dari Sidang Umum (Tahunan) MPR Tahun 2002 yang berlangsung pada tanggal1–11 Agustus 2002. Perubahan tersebut menitiberatkan pada penyempurnaan ayat-ayat atau pasal-pasal tunggal yang hilang serta penyempurnaan pasal-pasal di bidang pendidikan, kebudayaan, perekonomian, keuangan, dan kesejahteraan sosial.[32][33]
Dalam perubahan keempat ini, MPR menetapkan beberapa hal, antara lain sebagai berikut.
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sebagaimana telah diubah dengan perubahan pertama, kedua, ketiga dan perubahan keempat ini adalah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang ditetapkan pada tanggal 18 Agustus 1945 dan diberlakukan kembali dengan Dekret Presiden pada tanggal 5 Juli 1959 serta dikukuhkan secara aklamasi pada tanggal 22 Juli 1959 oleh Dewan Perwakilan Rakyat.
|access-date=
(bantuan)|url-status=
yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)