4 jenis stereotip yang dihasilkan dari kombinasi antara perasaan hangat dan kompetensi.Gambaran kuli Jawa di Sumatra pada era penjajahan Belanda. Orang Jawa pada umumnya distereotipekan sebagai seorang kuli pekerja keras.
Stereotipe adalah penilaian terhadap seseorang hanya berdasarkanpersepsi terhadapkelompok di mana orang tersebut dapat dikategorikan.[1] Stereotipe merupakan jalan pintas pemikiran yang dilakukan secara intuitif olehmanusia untuk menyederhanakan hal-hal yang kompleks dan membantu dalam pengambilan keputusan secara cepat.[1]
Dalampsikologi sosial, stereotipe adalah setiap pemikiran yang diadopsi secara luas tentang tipe individu tertentu atau cara berperilaku tertentu yang dimaksudkan untuk mewakili seluruh kelompok individu atauperilaku tersebut secara keseluruhan.[2] Pikiran atau keyakinan ini mungkin secara akurat mencerminkan kenyataan atau bahkan tidak.[3][4] Di dalampsikologi dan lintas disiplin ilmu lainnya, terdapat berbagai konseptualisasi dan teori stereotipe yang terkadang memiliki kesamaan, serta mengandung unsur-unsur yang kontradiktif. Bahkan dalamilmu-ilmu sosial dan beberapa subdisiplin psikologi, stereotip kadang-kadang direproduksi dan dapat diidentifikasi dalam teori-teori tertentu, misalnya, dalam asumsi tentangbudaya lain.[5]
Stereotipe sesungguhnya dapat berupa stereotipe positif dan negatif. Stereotipe negatif sering diasosiasikan dengan sikap atau perilaku negatif, sepertiprasangka dandiskriminasi. Sementara stereotipe positif sering dianggap sebagai stereotipe yang tidak berbahaya dan memusuhi seseorang atau kelompok lain.[6]
Asal katastereotipe dalambahasa Indonesia dipinjam dari sebuahkata benda dalambahasa Inggris, yaitustereotype. Sebenarnya, kata ini dalam bahasa Inggris juga pinjaman dari sebuahkata sifat dalambahasa Prancis, yaitustéréotype yang merupakan kata turunan dari dua kata dalambahasa Yunani, yaitu στερεός (stereos), yang berarti "kokoh, padat"[7] dan τύπος (typos), yang artinya kesan, sehingga secara harfiahstereotip berarti "kesan yang kuat terhadap satu objek atau lebih".
Stereotipe dengan makna yang umum pada masa kini pertama kali diperkenalkan oleh seorangjurnalis Amerika yang bernamaWalter Lippmann dalam karyanya yang berjudul "Public Opinion".[8] Sebenarnya penggunaan kata stereotipe pertama kali digunakan pada tahun 1798 olehFirmin Didot dengan makna yang sama sekali berbeda. Kata Stereotipe yang digunakan oleh Firmin merujuk pada konteksindustripercetakan. Dalam hal ini, stereotipe yang dimaksud adalah sebuah pelat cetak yang dapat digunakan untuk menggandakan suatu cetakan menjadi banyak.[9][10] Selain itu, kata stereotipe juga digunakan untuk menamai sebuahgambar yang diciptakan untuk tidak berubah atau tetap.[11]
Stereotipe timbul karena adanya kecenderungan untuk menggeneralisasi secara berlebihan tanpa diferensiasi sehingga menimbulkanbias dan sikap negatif yang dialamatkan kepada suatu kelompok sosial (ras,suku atauagama) dan anggotanya.[12][13] Semua stereotipe adalahgeneralisasi, tetapi tidak semua generalisasi termasuk stereotipe. Stereotipe tersebar lebih luas karena penyederhanaan berlebihan terhadap sekelompok orang, sedangkan generalisasi lebih didasarkan pada pengalaman pribadi.[14]
Sebagai contoh, diAmerika Serikat (AS), kelompok ras tertentu sering dihubungkan dengan stereotipe, seperti pintarmatematika,atletik dan menari. Stereotipe ini begitu terkenal di AS sehingga rata-ratamasyarakat Amerika tidak akan ragu bila diminta untuk mengidentifikasi kelompok ras mana, misalnya, yang memiliki reputasi baik dalam olahragabasket. Singkatnya, ketika seseorang menciptakan stereotipe, ia hanya mengulangimitologibudaya yang sudah ada dalam masyarakat.[14]
Di sisi lain, seseorang bisa menciptakan generalisasi tentang suatukelompok etnis yang belum dilanggengkan oleh masyarakat. Misalnya, seseorang yang bertemu dengan beberapa orang dari negara tertentu dan ia menemukan bahwa orang tersebut pendiam, akan berkata bahwa semua orang dari negara tersebut memang pendiam. Generalisasi semacam ini tidak mencerminkan keragaman dalam kelompok (masyarakat negara tertentu). Namun generalisasi dapat berkembang menjadistigmatisasi dandiskriminasi kelompok jika stereotipe yang dilekatkan pada mereka sebagian besar negatif.[14]
Stereotipe juga berbeda dengan prasangka dan diskriminasi. Kata prasangka pertama kali diperkenalkan olehGordon Allport, berasal dari katapraejuducium yang artinya adalah pernyataan ataukesimpulan berdasarkanperasaan atau pengalaman yang dangkal terhadap seseorang atau kelompok tertentu. Prasangka mengandung tiga aspek, yaitu keyakinankognitif yang bersifat merendahkan, pengekspresian perasaan negatif (aspekafektif) dan tindakan permusuhan serta diskriminatif (aspekkonatif).[13]
Sementara diskriminasi adalah perilaku negatif terhadap seseorang atau kelompok tertentu. Pada umumnya, perlakuan diskriminatif timbul akibat pengaruh dari prasangka.[13]
Meskipun stereotipe awalnya tidak dibentuk oleh media, tetapi media modern memiliki pengaruh besar dalam membangkitkan dan memelihara stereotipe di masyarakat. Citra stereotipikal yang ditampilkan di media merupakan kejadian sehari-hari. Representasi stereotipikal ini dapat memunculkan prasangka terhadap kelompok lain serta mendorong orang-orang untuk memiliki perasaan dan emosi negatif terhadap anggota dari kelompok tersebut.[15]
Selain media, stereotipe dapat terbentuk melalui pengaruh dari orang-orang terdekat, sepertiorang tua,guru dan teman sebaya. Orang tua dan anggota keluarga lainnya menjadi sumber utama yang menanamkan informasi, mengajarkan dan memperkuat keyakinan stereotipe pada anak-anak, yang kelak akan terbawa hingga merekadewasa.[15]
Berdasarkan teori pembelajaran sosial, seseorang belajar tentang perilaku sosial melalui pengalaman langsung (seperti diberikanhukuman atauhadiah atas perbuatannya) atau melaluiobservasi (seperti mengamati konsekuensi dari perbuatan orang lain). Dengan mengacu pada teori ini, dapat dikatakan bahwa seseorang belajar memberi stereotipe pada orang lain karena memiliki pengalaman langsung dengan kelompok tertentu atau mendapat pengaruh dari orang lain. Ketika perbuatan seperti ini tidak ditegur, seseorang akan terus terlibat dalam proses menstereotipkan orang lain.[15]
Stereotipe eksplisit merupakan sebuah stereotipe yang digunakan secara sadar oleh seseorang untuk menilai orang atau kelompok lain atas dasar stereotipenya tersebut.[16][17] Sebagai contoh, jika ada seseorang yang berdebat denganorang Batak lalu dia menganggap secara sadar bahwa orang Batak tersebut yang akan menang karena orang Batak kebanyakan berkecimpung menjadipengacara, maka itu adalah sebuah penilaian sadar seseorang berdasarkan stereotipe yang bisa disebut sebagai stereotipe eksplisit. Terkadang, mereka yang sadar menggunakan stereotipe untuk menilai seseorang atau kelompok tertentu juga secara sadar ingin mengurangi atau bahkan menghilangkan ketergantungan mereka terhadap stereotipe dalam penilaiannya. Namun stereotipe eksplisit itu sendiri sebenarnya hanyalah kesadaran dari stereotipe implisit sehingga dapat membuat seseorang secara tanpa sadar melakukanbias kognitif dan terus menjadi kebiasaan.[18]
Stereotipe implisit merupakan kebalikan dari stereotipe eksplisit. Stereotipe ini merupakan suatu bentuk stereotipe dimana seseorang secara tanpa sadar menilai orang atau kelompok lain menggunakan stereotipe dan seseorang tersebut juga tidak memiliki kontrol atas stereotipe tersebut karena stereotipe jenis ini terletak di alam bawah sadar.[16] Istlah ini pada awalnya digunakan oleh dua orangpsikolog yang bernamaMahzarin Banaji danAnthony Greenwald pada tahun 1995.
Heterostereotipe merupakan sejenis stereotipe yang diarahkan kepada kelompok atau orang di luar diri si penilai.[20] Stereotipe jenis ini merupakan yang paling banyak dan umum dalam masyarakat. Heterostereotipe sering terbentuk karena kesan pertama terhadap orang atau kelompok tersebut dan minimnyapengetahuan daninteraksi terhadap orang atau kelompok yang dinilai. Stereotipe ini apabila diarahkan kepada suatu kelompok cenderung mendorong seseorang untuk melakukankesesatan logika dalam halrelevansi antara komposisi dan divisi. Penyebabnya adalah dalam kesesatan tersebut seseorang berpijak pada anggapan bahwa apa yang benar (berlaku) bagi individu atau beberapa individu dari suatu kelompok tertentu pasti juga benar (berlaku) bagi seluruh kelompok secara kolektif dan juga sebaliknya.[21]
Autostereotipe atau juga dikenal sebagaiself-stereotype adalah salah satu tipe stereotipe yang diarahkan pada diri sendiri. Hal ini terjadi apabila seorang individu mengintegrasikan dirinya menggunakan sifat atau karakteristik umum suatu kelompok.[22][23] Autostereotipe pada umumnya dilakukan secara sadar dan terpilah. Seseorang biasanya akan lebih memilih stereotipe positif dari suatu kelompok ke dalam dirinya daripada mengadopsi stereotipe negatif kelompok tersebut. Namun terkadang, stereotipe negatif juga diambil apabila orang tersebut melakukan sebuah kesalahan dan ingin menjelaskan bahwa kesalahan tersebut semata-mata adalah kesalahan kelompok.[24]
Dalam pandangan tradisional, stereotipe terdiri atas seperangkat keyakinan negatif tentang kelompok tertentu dan keyakinan negatif tersebut menghasilkan efek negatif berupa prasangka dan diskriminasi. Namun, baru-baru ini parapeneliti menyadari bahwa stereotipe memiliki keyakinan negatif dan positif secara bersamaan dan menemukan adanya efek negatif dari stereotipe positif. Mereka menyebutnya sebagai konsepambivalensi. Konsep ini mendeskripsikan sikap positif dan negatif terhadap anggota atau kelompok tertentu yang secara simultan ada dalam diri individu dan sering menimbulkankonflik antara satu dengan yang lain. Contohnya, sikap seseorang terhadapperempuan atau anggota dari kelompok ras yang berbeda dapat menjadi suatu hal yang menyenangkan atau tidak menyenangkan bagi mereka.[6]
Dalam beberapa kasus, stereotipe positif dapat memunculkan ekspektasi yang tidak realistis pada orang lain. Akibatnya, mereka yang tidak mampu memenuhi ekspektasi sosial akan merasa gagal, tertekan dan cemas. Stereotipe yang mengaitkan antara keahlian dalam suatu bidang dengan ras, gender atau kebangsaan tertentu dapat membuat prestasi seseorang dalam bidang tersebut tidak dihargai. Pada perempuan, stereotipe positif dapat mendiskreditkan keunikan mereka sebagai individu. Hal ini juga dapat memicu minimnya keterlibatan perempuan dalamperubahan sosial.[25][26]
Sebagian besar peneliti memfokuskan penelitian mengenai konsep ambivalensi ini pada dua hal, yaituseksisme danrasisme ambivalen. Penelitian mengenai rasisme ambivalen lebih terbatas dan sebagian besarnya adalah tentang persepsiorang kulit putih terhadap orang keturunanAfrika danAsia. Misalnya, stereotipe tentang orang keturunan Afrika-Amerika yang ahli dalam olahraga atletik atau stereotipe tentang orang keturunan Asia-Amerika yang pintar matematika.[6][26]
Seksisme ambivalen memiliki dua varian, yaituhostile danbenevolent sexism.Hostile sexism adalah jenis seksisme yang paling umum terjadi dan biasa diasosiasikan dengan stereotipe negatif tentang perempuan, seperti perempuan itu lemah atau menganggap bahwa bersih-bersih adalah pekerjaan perempuan.[6]Hostile sexisme juga dapat diartikan sebagai sikap antipati terhadap perempuan yang dipandang sebagai perampas kekuasaan laki-laki.[27]
Sementarabenevolent sexism adalah jenis seksisme atau disebut juga sebagai ideologi kesatria yang menawarkan perlindungan dan kasih sayang kepada perempuan yang menganut peran gender konvensional. Hal ini temasuk seksisme dalam bentuk yang lebih halus dan biasa dikaitkan dengan stereotipe positif tentang perempuan. Para peneliti membagibenevolent sexism menjadi tiga sub kategori, yaitu paternalisme protektif, diferensiasigender pelengkap dan keintimanheteroseksual.[6][27]
Paternalisme protektif adalah salah satu bentukbenevolent sexism yang mengharuskan laki-laki untuk melindungi perempuan dan membuat keputusan atas nama mereka. Meskipun pandangan ini tampak positif, sebenarnya ide ini dijadikan pembenaran bahwa laki-laki itu kuat dan perempuan itu lemah.[6][28]
Akibatnya perempuan tidak dianggap sebagai individu yang punyaotonomi dan kemampuan untuk mengurus dirinya sendiri. Hal ini membuat pergerakan perempuan sering dibatasi bahkan dilarang untuk melakukan aktivitas-aktivitas dasar, seperti menyetir, bekerja atau (dalam kasus yang ekstrem) bepergian seorang diri.[28]
Diferensiasi gender pelengkap menggunakan perbedaan aspek biologis antara laki-laki dan perempuan untuk membenarkanperan gender tradisional. Secara umum, laki-laki distereotipkan sebagai individu yang kompeten, asertif, mandiri dan berorientasi pada pencapaian. Sementara perempuan biasa distereotipkan sebagai individu yang hangat, ramah, saling ketergantungan dan berorientasi pada hubungan. Stereotipemaskulinitas danfeminitas inilah yang kemudian menekankan pada peran tradisional perempuan sebagai ibu dan pengurus rumah tangga. Sub kategori ini juga membagi perempuan menjadi tipe "baik" dan "buruk" (menurut para penganut seksisme), di mana perempuan yang memenuhi peran gender tradisional akan lebih dihargai dan diperlakukan dengan baik. Sementara perempuan yang menolak peran gender tradisional atau mencoba untuk merebut kekuasaan laki-laki akan mendapat penolakan dan hukuman berupahostile sexism.[6][27]
Keintiman heteroseksial adalah pandangan yang menekankan bahwa laki-laki tidak lengkap tanpa perempuan. Pandangan tersebut kerap dianggap positif karena seperti ajakan untuk mengapresiasi perempuan. Namun pandangan tersebut dapat menjadi mekanisme terselubung untuk melanggengkanketidaksetaraan gender. Perempuan lebih didorong untuk memprioritaskanpernikahan, membahagiakan pasangan atau menjaga hubungan (keluarga,anak-anak dan sebagainya) dibandingkan mengejarpendidikan dankarier.[6][29]
^ab(Inggris)Robbins, Stephen P., Timothy A. Judge (2010).Organizational Behavior. Prentice Hall.ISBN 978-0132163842.Pemeliharaan CS1: Banyak nama: authors list (link)
^abTriandis, Harry C (1994).Cultural and Social Behavior. New York: Mc Graw Hill, Inc. hlm. 107.Parameter|url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)