Sintong Panjaitan | |
---|---|
![]() Sintong Panjaitan, 1985 | |
Panglima Komando Daerah Militer IX/Udayana ke-13 | |
Masa jabatan 12 Agustus 1988 – 1 Januari 1992 | |
Komandan Jenderal Komando Pasukan Khusus ke-10 | |
Masa jabatan Mei 1985 – Agustus 1987 | |
Informasi pribadi | |
Lahir | Sintong Hamonangan Panjaitan 4 September 1940 (umur 84) Tarutung,Sumatera,Hindia Belanda |
Kebangsaan | Indonesia |
Suami/istri | Lentina Napitupulu |
Anak |
|
Tempat tinggal | Jakarta |
Almamater | Akademi Militer Nasional (1963) |
Pekerjaan | TNI (Purnawirawan) |
Karier militer | |
Pihak | ![]() |
Dinas/cabang | ![]() |
Masa dinas | 1963—1991 |
Pangkat | ![]() |
NRP | 19294[1] |
Satuan | Infanteri (Kopassus) |
Pertempuran/perang | |
![]() ![]() | |
Letnan JenderalTNI (Purn.)Sintong Hamonangan Panjaitan atau biasa dirujukSintong Panjaitan (lahir 4 September 1940)[2] adalah seorangpurnawirawan TNI lulusanAkademi Militer Nasional (kiniAkademi Militer) tahun1963. PenasihatMiliterPresiden BJ Habibie, Sesdalopbang (Sekretaris Pengendalian Operasional Pembangunan),Pangdam IX/Udayana,Danjen Kopassus. Ia menerima 20 perintah operasi/penugasan di dalam dan luar negeri selama karier militernya. Pencopotan jabatannya sebagaipangdam akibatInsiden Dili di pemakamanSanta Cruz,11 November1991 banyak dianggap sebagai awal dari kemunduran kariernya di bidang militer sebelum ia menjadiPurnawirawan dengan pangkatLetnan Jenderal.
Sintong dilahirkan diTarutung, sebagai anak ketujuh dari 11 bersaudara. Saudara-saudaranya bernama: Johan Christian, Nelly, Humalatua, Hiras, Erne, Wilem, Tiurma, Dame, Anton dan Emmy.Ayahnya, Simon Luther Panjaitan (sebelumnya bernama Mangiang Panjaitan) adalah seorang Mantri diCentrale Burgelijke Ziekenhuis (RSU) Semarang.[3] Ibunya, Elina Siahaan adalah puteri dari seorang raja di Aek Nauli, Raja Ompu Joseph Siahaan.[2] Keduanya menikah diSemarang, pada tahun1925.Minat Sintong pada bidang militer muncul saat berumur tujuh tahun yang pada saat itu rumahnya kerap terkena bomP-51 Mustang Angkatan Udara KerajaanBelanda. Sintong mulai memanggul senjata di bangkuSekolah Menengah Atas (1958) saat ia mengikuti latihan kemiliteran 3 bulan yang dilaksanakan gerakanPRRI di bawah pimpinan KolonelMaludin Simbolon.[4]
Sintong mulai mencoba memasuki dunia militer saat mencoba melamar masuk Akademi Angkatan Udara pada tahun 1959. Saat menunggu hasil lamarannya tadi, Sintong juga mengikuti ujian masuk Akademi Militer Nasional pada tahun 1960, dan lulus sebagai bagian dari 117 taruna AMN angkatan V.Sintong lulus dari AMN pada tahun 1963 dengan pangkat Letnan Dua. Selanjutnya ia mengikuti sekolah dasar cabang Infanteri di Bandung dan lulus pada tanggal 27 Juni 1964 dan ditempatkan sebagai perwira pertama Resimen Pasukan Komando Angkatan Darat (RPKAD), pasukan elit TNI Angkatan Darat (kini bernama Komando Pasukan Khusus - Kopassus).
Pada periode Agustus 1964-Februari 1965 Sintong menerima perintah operasi tempur pertamanya di dalam Operasi Kilat penumpasan gerombolan DI/TII pimpinanKahar Muzakar diSulawesi Selatan danTenggara.Sejak Februari 1965, Sintong mengikuti pendidikan dasar komando di Pusat Pendidikan Para Komando AD di Batujajar. Ia memperoleh atribut Komando di Pantai Permisan, 1 Agustus 1965, dan kembali ke Batujajar untuk pendidikan dasar Para dan mengalami 3 kali terjun.Setelah itu ia menerima perintah untuk diterjunkan diKuching,Serawak,Malaysia Timur sebagai bagian dari Kompi Sukarelawan Pembebasan Kalimantan Utara dalam rangkaKonfrontasi Malaysia.
TerjadinyaGerakan 30 September (G30S) membatalkan rencana penerjunan di atas. Sintong sebagai bagian dari Kompi yang berada di bawah pimpinan Lettu Inf.Feisal Tanjung kemudian berperan aktif dalam menggagalkan G30S. Sintong memimpin 1 Peleton pasukan untuk merebut stasiun/kantor pusatRadio Republik Indonesia (RRI), yang memungkinkan Kapuspen AD Brigjen TNIIbnu Subroto menyiarkan amanat Mayjen TNISoeharto. Sintong juga turut serta dalam mengamankanLapangan Udara Halim Perdanakusuma, dan memimpin anak buahnya dalam penemuan sumur tua diLubang Buaya.[5]Setelah itu Sintong menerima tugas operasi pemulihan keamanan dan ketertiban diJawa Tengah, untuk memimpin 1 Peleton di bawah kompi Tanjung beroperasi memberantas pendukung G30S diSemarang,Demak,Blora,Kudus,Cepu,Salatiga,Boyolali,Yogyakarta hingga lereng timurGunung Merapi.[6]
Pada tahun1969Kapten Inf.Feisal Tanjung mengikutsertakan Sintong dalam upaya membujuk kepala-kepalasuku diIrian Barat untuk memilih bergabung bersamaIndonesia dalamPenentuan Pendapat Rakyat.[7]Berbagai prestasi Sintong di kesatuan khusus TNI-AD ini mengantarkannya ke kursi Komandan Kopassandha di periode 1985-1987, menggantikan Brigjen TNIWismoyo Arismunandar.
Sintong Panjaitan adalah pemimpinGrup-1 Para Komando yang terjun dalam operasi pembebasankontra terorisme dalam peristiwapembajakan pesawat Garuda DC-9 Woyla tanggal31 Maret1981. Operasi ini dijalankan saat pangkatnya adalahLetnan Kolonel. Walaupun terdapat dua korban jiwa (satuPilot dan satu anggotaPara Komando), operasi tersebut dinilai sukses oleh pemerintah Indonesia karena selamatnya seluruh awak dan penumpang pesawat yang lain, sehingga ia beserta tim-nya dianugerahiBintang Sakti dan dinaikkan pangkatnya satu tingkat.[8]
Keterlibatannya dalam operasi militer di daerahTimor Timur kemudian menjadi salah satu penyebab diangkatnya Sintong menjadi PanglimaKomando Daerah Militer IX/Udayana yang mencakup ProvinsiTimor Timur. Sintong kemudian dicopot dari jabatannya sebagai pangdam akibatInsiden Dili yang terjadi dipemakaman Santa Cruz,11 November1991, yang mengakibatkan jatuhnya korban jiwa dan skandal internasional. Beberapa pihak menyatakan bahwa peristiwa ini turut mengakhiri karier militer Sintong.[9] Akibat keterlibatannya dalam insiden tersebut ia dituntut pada 1992 oleh keluargaseorang korban jiwa dan divonis, pada 1994, untuk membayar ganti rugi sebanyak total 14 juta US Dollar.[10]
Menristek Prof. Dr.Ing.Bacharuddin Jusuf Habibie menunjuk Sintong sebagai penasihat bidang militer di kantorBadan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) pada tahun1994. Sejak saat itu Sintong menjadi penasihat kepercayaan Habibie hingga Habibie menjadiPresiden Indonesia pada tahun1998 di mana Sintong duduk sebagai penasihat Presiden di bidang Militer.Sebuah sumber menyatakan bahwa Habibie berdiskusi secara mendalam dengan Sintong, JenderalWiranto (Panglima ABRI danMenhankam) danYunus Yosfiah (Menteri Penerangan) sebelum mengizinkanreferendum Timor Timur bagi rakyat Timor Timur untuk menentukan apakah Timor Timur akan tetap bergabung dalam Republik Indonesia atau menjadi negara sendiri.[11]
Ia mendapatkan sejumlah tanda jasa, diantaranya;
![]() | ||
![]() | ![]() | ![]() |
![]() | ![]() | ![]() |
![]() | ![]() | ![]() |
![]() | ![]() | ![]() |
Baris ke-1 | Bintang Mahaputera Utama (6 Agustus 1998)[1] | ||
---|---|---|---|
Baris ke-2 | Bintang Sakti (28 Maret 1981)[8] | Bintang Kartika Eka Paksi Pratama | Bintang Kartika Eka Paksi Nararya |
Baris ke-3 | Satyalancana Kesetiaan 24 Tahun | Satyalancana G.O.M IV | Satyalancana Wira Dharma |
Baris ke-4 | Satyalancana Dwidya Sistha | Satyalancana Penegak | Satyalancana G.O.M VIII Dharma Phala |
Baris ke-5 | Satyalancana G.O.M IX Raksaka Dharma | Satyalancana Pepera | Satyalancana Seroja |
Pada Maret 2009,wartawan perangHendro Subroto menerbitkan sebuah buku tentang Sintong yang berjudul "Perjalanan Seorang Prajurit Para Komando". Buku tersebut menuai kontroversi karena menuduhPrabowo Subianto yang pada Maret 1983 berpangkat kapten hendak melakukan upayakudeta dengan menculik beberapa perwira tinggiABRI. Buku yang diterbitkan menjelangPemilu Legislatif 2009 itu memberikan kredit kepadaLuhut Panjaitan yang waktu itu berpangkat mayor yang disebutkan menggagalkan upaya yang mengarah kepada kudeta tersebut.
|url-status=
yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)|url-status=
yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)|url-status=
yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)|url-status=
yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)Jabatan militer | ||
---|---|---|
Didahului oleh: Wismoyo Arismunandar | Danjen Kopassus 1983—1985 | Diteruskan oleh: Kuntara |
Didahului oleh: Djoko Pramono | Pangdam Udayana 1988—1992 | Diteruskan oleh: H. B. L. Mantiri |