Ini adalah versi yang telah diperiksa dari halaman ini
Festival Film Indonesia | |
---|---|
Penghargaan terkini:Festival Film Indonesia 2024 | |
![]() | |
Deskripsi | Prestasi dalamperfilman Indonesia |
Negara | Indonesia |
Dipersembahkan oleh | |
Diberikan perdana | 1955 |
Situs web | festivalfilm |
Festival Film Indonesia (FFI) adalah festival film yang dipelopori oleh dua tokoh perfilman, yaituUsmar Ismail danDjamaluddin Malik. Festival ini diselenggarakan pertama kali pada tahun 1955 dan berlanjut pada tahun 1960 dan 1967, dengan nama Pekan Apresiasi Film Nasional. Selanjutnya pada tahun 1973, festival ini dinamakan sebagai Festival Film Indonesia dan mulai diselenggarakan setiap tahunnya. Penghargaan "Piala Vidia" untuk film televisi juga diberikan sejak tahun 1986 hingga tahun 2014.
Tahun 1955, nasib perfilman nasional cukup mengkhawatirkan. Pertama, menghadapi persaingan cukup berat dari filmMalaya (kiniMalaysia). Kemudian digantikan dengan maraknyafilm India, yang menyedot penonton kelas menengah ke bawah. Sementara bioskop-bioskop kelas satu menolak memutar film-film nasional dan dimonopoli film-film dari Amerika Serikat. Dalam suasana suram begitu, dua tokoh perfilman, masing-masingUsmar Ismail danDjamaluddin Malik, mempelopori Festival Film Indonesia (FFI).[1]
Festival Film Indonesia pertama kali digelar di Jakarta pada 30 Maret—5 April 1955. Dilaksanakan pada masa pemerintahanWali Kota JakartaSudiro danMenteri PPKProf. Dr. Bahder Djohan, FFI 1955 mengambil tempat di Rumah Dinas Wali Kota Jakarta Raya, Jl. Taman Suropati No. 7,Menteng,Jakarta Pusat.[2] Sebelumnya, kedua pioner perfilman nasional itu menghadiri acara pembentukan Persatuan Produser Film Asia (Federation of Motion Picture Producers in Asia/FPA) diManila,Filipina. Hal inilah yang menyebabkan Indonesia harus mengadakan FFI dan pemenangnya akan diperebutkan di FPA, yang diselenggarakan secara bergiliran di negara-negara anggotanya. Dibuatnya festival film untuk upaya menarik perhatian masyarakat yang cenderung agak skeptis dengan produksi perfilman lokal, dan memungkinkan untuk mengubah stereotip buruk tersebut, dengan alasan film Indonesia juga memiliki kualitas yang tidak kalah baiknya dengan film asing. Tentu hal ini niat yang gagah untuk menumbuhkan apresiasi terhadap film Indonesia. Momentum yang tepat, yaitu tahun 1955 yang baru sepuluh tahun Indonesia merdeka. Niat lain yang digulirkan Djamaluddin Malik ialah festival film itu sebagai peristiwa budaya.[3] Artinya untuk evaluasi film produksi dalam negeri selama satu tahun. Tetapi yang lebih penting festival film tahun 1955 adalah dijadikan forum pertemuan antara pembuat dan penonton film, sekaligus forum penilaian mengenai kualitas teknis penggarapan serta penyajian atas karya film.[1]
Usai menyelenggarakan festival film 1955, tahun berikutnya Djamaluddin Malik tidak mengadakan festival. Selama tiga tahun, tepatnya tahun 1956 hingga tahun 1959 tidak ada lagi festival film. Tahun1960 baru diadakan kembali festival film, diselenggarakan di Jakarta, 21—25 Februari, film terbaiknya adalahTurang yang disutradaraiBachtiar Siagian yang juga dinobatkan sebagai sutradara terbaik. Selesai festival film 1960, tahun berikutnya tak ada lagi festival. Barulah pada bulan Agustus 1967 diadakan Pekan Apresiasi Film Nasional, sebagai nama lain dari FFI ketiga setelah 1955 dan 1960.Pekan Apresiasi Film Nasional 1967 diadakan di Jakarta, 9-16 Agustus, yang tidak ada film terbaik. Sutradara terbaik jatuh padaMisbach Jusa Biran (Dibalik Tjahaja Gemerlapan). Untuk pemeran utama pria ialahSoekarno M. Noor dan pemeran utama wanita yaituMieke Wijaya (Gadis Kerudung Putih).[4]
Beberapa kali penyelenggaraan FFI vakum. Hal ini diakibatkan kondisi politik yang tidak menentu pada saat itu.[3] Penyelenggaraan FFI baik pada tahun 1955, 1960 hingga tahun 1967 yang dinamakan Pekan Apresiasi Film Nasional, kerap disebut pemerhati film sebagaiPra-FFI. Antara tahun 1970 sampai 1975 terdapat festival terbatas berupa Pemilihan Aktor/Aktris Terbaik yang diselenggarakan olehPWI Jaya Seksi Film. Kegiatan ini memang akhirnya tersaingi oleh masyarakat film yang dikelola oleh Yayasan Film Indonesia (YFI), dan mendapat dukungan olehDepartemen Penerangan Republik Indonesia, yang pada waktu itu merupakan institusi pembina perfilman nasional.[4]
YFI mengadakan festival film tahun 1973, yang seterusnya disebut Festival Film Indonesia, dengan menobatkanPerkawinan karyaWim Umboh, meraih pula piala untuk sutradara terbaik. Di satu sisi, pemilihan Aktor/Aktris Terbaik versi wartawan dihentikan pada tahun 1975 alias terintegrasi dengan YFI. Pada sisi lain, Departemen Penerangan memprakarsai dibentuknya Dewan Film Nasional. Maka melalui lembaga ini pelaksana FFI tahun 1981 yang dilakukan YFI dilebur. Maka pada tahun 1982 penyelenggaraan FFI ini sepenuhnya dikelola oleh Dewan Film Nasional.[1]
Sejak saat itu pula penyelenggaraan FFI berpindah–pindah dari satu kota ke kota lain, diadakan diMedan tahun 1983. Tahun berikutnya diYogyakarta, diBandung tahun 1985 dan pada tahun 1986 kegiatan dipusatkan di Jakarta, hanya puncak acara diDenpasar. Patut dicatat penyelenggaraan FFI di daerah dimaksudkan untuk mendekatkan diri antara artis film dengan masyarakat penontonnya.[3]
Pada tahun 1980-an acara Festival Film Indonesia masih diadakan tiap tahun untuk memberikan penghargaan kepada insan film Indonesia pada saat itu. Tetapi karena satu dan lain hal perfilman Indonesia semakin jeblok pada tahun 1990-an yang membuat hampir semua film Indonesia berkutat dalam tema-tema yang khusus orang dewasa. Pada saat itu film Indonesia sudah tidak menjadi tuan rumah lagi di negara sendiri. Film-film dariHollywood danHong Kong telah merebut posisi tersebut.[4]
Di periode ini perfilman Indonesia bisa dikatakan mengalami mati suri dan hanya mampu memproduksi 2-3 film tiap tahun.[5] Kematian industri film ini juga ditunjang pesatnya perkembangantelevisi swasta, serta munculnya teknologiVCD,LD danDVD yang menjadi pesaing baru. Hal inilah yang membuatFestival Film Indonesia 1992 menjadi Festival Film Indonesia terakhir sebelum mengalami masa vakum.[6]
Sementara, sejak tahun 1992, Piala Vidia diberikan terpisah dengan FFI, dan diadakan dalam FSI atauFestival Sinetron Indonesia.[7] Kelesuan industri film tanah air menyebabkan industri sinetron yang berkembang pesat. FSI menjadi ajang pengganti FFI yang prestisius, dan diadakan setiap tahun dengan meriah.[8][9] Penyelenggaraan FSI terhenti pada tahun 1999.[10]
Era ini dianggap sebagai era kebangkitan perfilman nasional.[11] Kebangkitan ini ditunjukkan dari kondisi perfilman Indonesia yang mengalami pertumbuhan jumlah produksi yang menggembirakan. Hal inilah yang kemudian membuat Festival Film Indonesia kembali diadakan pada tahun 2004 setelah vakum selama 12 tahun, Namun penyelenggaraannya sempat diwarnai keluhan beberapa penerima penghargaan mengenai acara penghargaan yang tak ditayangkan di televisi.[12] Piala Vidia kembali diadakan pada tahun 2004, berbarengan dengan FFI. Kembali terhenti tahun 2007 hingga 2010, pemberian Piala Vidia kembali diadakan pada FFI tahun 2011 hingga 2014.[13]
Festival Film Indonesia 2006 mengundang kontroversinya sendiri, ketika filmEkskul dinyatakan sebagai Film Terbaik. Penobatan Ekskul sebagai Film Terbaik menuai kontroversi dariMasyarakat Film Indonesia (MFI). MFI yang terdiri dari sejumlah insan perfilman di antaranya SutradaraRiri Riza danMira Lesmana yang meraih Piala CitraFestival Film Indonesia 2005 untuk filmGie dan sebanyak 22 peraih Piala Citra dari tahun 2004 hingga 2006 memprotes penyelenggaraan FFI 2006 ini karena telah memberikan penghargaan Film terbaik pada filmEkskul dan Sutradara Terbaik pada sutradaranya,Nayato Fio Nuala, yang menurut mereka sarat dengan unsur plagiat. Akibatnya kemenangan film ini dibatalkan berdasarkan Surat Keputusan (SK) bernomor 06/KEP/BP2N/2007, tentang Pembatalan Piala Citra Utama untuk Film Terbaik dan Piala Citra untuk Sutradara Terbaik Festival Film Indonesia 2006 itu ditanda-tangani oleh ketuaBadan Pertimbangan Perfilman Nasional (BP2N),Deddy Mizwar.[14]
Perbaikan Festival Film Indonesia terus dilakukan pasca kontroversiEkskul tersebut, termasuk dalam bidang penjurian dan pelaksanaan FFI. Hal tersebut dilakukan untuk semakin meningkatkan mutu dan objektivitas penjurian sehingga hasilnya bisa lebih dipertanggungjawabkan. Penyelenggara pun silih berganti, mulai dari Komite Festival Film Indonesia yang menggantikan Badan Pertimbangan Perfilman Nasional sejak 2009 hingga berdirinyaBadan Perfilman Indonesia (BPI) tahun 2014.[15]
Kriteria yang harus dipenuhi untuk menentukan film terbaik dalam Festival Film Indonesia adalahskenario,penyuntingan,penyutradaraan dansinematografi. Pada tahun-tahun awalnya, dewan juri disodori semua film peserta dan langsung menentukan pemenangnya. Sistem penjurian ini dirasa tidak efisien, karena dalam waktu relatif singkat juri harus melihat puluhan film dan harus selalu pada unsur-unsur film yang menonjol.[2]
Sistem penjurian seperti ini mengalami perubahan sejak tahun 1979, dengan membentuk dewan penilai awal yang terdiri atas belasan wartawan film ibu kota. Mereka mengusulkan beberapa film unggulan kepada dewan juri akhir. Tahun berikutnya, keterlibatan wartawan ini ditiadakan dan sistem penjurian sebelumnya diberlakukan kembali. Pada tahun 1978, sistem penjurian lebih mendasarkan penilaian pada sistem angka. DalamFestival Film Indonesia 1979, dewan juri sendiri yang mengumumkan nominasi seluruh peserta festival.[2]
Oleh karena dalam beberapa festival juri tidak menentukan film terbaik, hal tersebut menimbulkan rasa ketidakpuasan di kalangan film, sehingga akhirnya di-putuskan bahwa dalam setiap FFI harus ada film terbaik. Untuk itu dibentuklah kelompok penilai awal. Kelompok ini diberi nama Komite Pengaju Unggulan (KPU) dengan anggota 18 orang film dari semua unsur. KPU hanya berusia satu tahun, selanjutnya diganti dengan Komite Seleksi yang beranggotakan sembilan orang. Tugasnya memilih 11 sampai 19 film terbaik berkualitas.[2]
Sistem penilaian dua tahap dalam FFI meniruAcademy Awards. Penilaian tahap pertama terhadap suatu film peserta yang dilakukan Komite Seleksi ditekankan pada unsur-unsur film yang lebih condong pada segi teknis. Penilaian terhadap bobot budaya dari film itu dilakukan pada tahap berikutnya oleh dewan juri.
Mereka yang terpilih, diberikan penghargaan berupa "Piala Citra", "Piala Vidia" (Widya) untuksinema elektronik, "Piala S. Tutur" untuk poster film, dan "Piala Mitra" untuk kritik film.[2]
Mulai tahun 2014, FFI dilaksanakan olehBadan Perfilman Indonesia (BPI). Dan sejak 2014 itu, sistem penjurian FFI diubah. Kemala Atmojo, yang membawahi bidang Festival Film Dalam negeri (Sekarang Ketua BPI), mengubah total sistem penjurian FFI. Sejak 1955, FFI selalu dinilai oleh panel Dewan Juri antara 7 sampai 9 orang. Namun, mulai 2014 diubah menjadi 100 orang. Sistem penjuriannya dilakukan dalam dua tahap dan melibatkan akuntan publik.[16][17]
Pada tahap awal (pertama), dibentuk kelompok dewan juri sesuai dengan keahlian masing-masing bidang. Dewan juri tahap I ini hanya menilai bidang tertentu saja, misalnya, editing atau musik. Hasil penilaian juri tahap awal ini dikirim langsung ke akuntan publik, yang kemudian melakukan rekapitulasi. Hasil rekapitulasi dari tiap-tiap kelompok dewan juri ini menghasilkan nominasi.[18]
Lalu, nominasi masing-masing kategori dikirim ke semua dewan juri lagi. Pada tahap ini seluruh dewan juri menilai semua kategori (namun yang sudah masuk dalam nominasi). Hasil penilaian tahap II ini juga dikirim langsung ke akuntan publik. Kemudian akuntan publik merekapitulasi kembali dan hasilnya diserahkan kepada pembaca pemenang pada saat Malam Puncak. Sistem penilaian model baru ini kemudian diteruskan dalam FFI 2015 yang juga dilaksanakan oleh BPI hingga seterusnya.[19]
Pada tahun 2022, komite Festival Film Indonesia membentuk Akademi Citra, yang beranggotakan para peraih "Piala Citra" minimal 1 (satu) kali, masih terlibat aktif dalam produksi dan kegiatan perfilman hingga saat ini, serta diutamakan yang sudah terdaftar pada salah satu asosiasi profesi perfilman. Anggota Akademi Citra FFI berperan dalam menentukan nominasi sesuai kategori yang pernah diraih.[20] Akademi Citra menarik karena mengadopsi sistem di mana tiap profesi akan menentukan atau menilai sesuai dengan divisinya masing-masing seperti aktor menilai khusus bidang akting, editor menilai khusus bidang penyuntingan, dan seterusnya. Akademi Citra adalah respons terhadap masukan dari banyak pihak agar FFI melibatkan peran asosiasi-asosiasi profesi yang terlibat dalam produksi film mengingat film adalah kerja kolektif.[21]
"Piala Citra" diberikan kepada pemenang penghargaan. Piala Citra yang dipergunakan hinggaFFI 2007 ini merupakan hasil rancangan dari seniman patungGregorius Sidharta. Ketika FFI yang semula diselenggarakan Yayasan Film Indonesia (YFI) diambil alih oleh pemerintah tahun 1979, Piala Citra pun disahkan olehMenteri Penerangan Republik Indonesia,Ali Murtopo. Citra sendiri yang berarti bayangan atauimage awalnya adalah sebuah sajak karyaUsmar Ismail. Sajak ini kemudian dijadikan sebagai karya lagu olehCornel Simanjuntak. Berikutnya Usmar Ismail menjadikannya sebagai sebuah film.
Dalam tradisi FFI, "Citra" kemudian dijadikan nama piala sebagai simbol supremasi prestasi tertinggi untuk bidang perfilman.[22]
PadaFFI 2008 mulai digunakan Piala Citra bentuk baru. Sejumlah seniman seni rupa dan seni patung bekerja membuat rancangan Piala Citra dengan mengubah desain Piala Citra, yaituHeru Sudjarwo, S.Sn., M.A., (Koordinator), Prof. Drs. Yusuf Affendi MA, Drs. H. Dan Hisman Kartakusumah, Indros Sungkowo, dan Bambang Noorcahyo, S.Sn.[23] Rancangan menjadi simbol bagi semangat baru penyelenggaraan FFI.[24]
Namun, pada penyelenggaraanFFI 2014 piala citra kembali diubah kembali ke bentuk awalnya yakni rancanganGregorius Sidharta dengan sedikit modifikasi ulang olehDolorosa Sinaga, salah satu anak didik Sidharta diInstitut Kesenian Jakarta (IKJ).[25] Hal ini sebagai simbol kembalinya penyelenggaraan FFI kepada semangat awal.[26]
Berikut ini adalah kategori nomine yang diberikan Festival Film Indonesia.
Kategori lain yang pernah ada:
Pada tahun2021, FFI memberi empat penghargaan khusus seperti PenghargaanTanete Pong Masak (Karya Kritik Film Terbaik), PenghargaanChitra Dewi (Aktris Terfavorit Pilihan Penonton), PenghargaanBambang Irawan (Aktor Terfavorit Pilihan Penonton) dan PenghargaanDjamaluddin Malik (Film Terfavorit Pilihan Penonton).[28]
Berikut ini adalah daftar perayaan penghargaan Piala Citra Festival Film Indonesia dalam kurun 5 tahun terakhir.
Penghargaan | Tanggal Pelaksanaan | Film Cerita Panjang Terbaik | Sutradara Terbaik | Pemeran Utama Pria Terbaik | Pemeran Utama Wanita Terbaik | Pembawa Acara | Lokasi |
---|---|---|---|---|---|---|---|
Festival Film Indonesia 2020 | 5 Desember 2020 | Perempuan Tanah Jahanam | Joko Anwar | Gunawan Maryanto | Laura Basuki | Chicco Jerikho,Laura Basuki,Reza Rahadian,Tissa Biani | Jakarta Convention Center,Jakarta Pusat |
Festival Film Indonesia 2021 | 10 November 2021 | Penyalin Cahaya | Wregas Bhanuteja | Chicco Kurniawan | Arawinda Kirana | Tissa Biani,Prilly Latuconsina,Jefri Nichol,Angga Yunanda | |
Festival Film Indonesia 2022 | 22 November 2022 | Before, Now & Then (Nana) | Edwin | Marthino Lio | Ladya Cheryl | Cut Mini,Marsha Timothy,Prilly Latuconsina,Shenina Cinnamon | |
Festival Film Indonesia 2023 | 14 November 2023 | Perempuan Berkelamin Darah | Jeremias Nyangoen | Reza Rahadian | Sha Ine Febriyanti | — | Ciputra Artpreneur,Jakarta Selatan |
Festival Film Indonesia 2024 | 20 November 2024 | Jatuh Cinta Seperti di Film-Film | Garin Nugroho | Ringgo Agus Rahman | Nirina Zubir | Indonesia Convention Exhibition,BSD City |
Sejauh ini, belum ada satupun film yang memenangkan keenam piala utama di penghargaan ini (Film Terbaik, Penyutradaraan Terbaik, Pemeran Utama Pria Terbaik, Pemeran Utama Wanita Terbaik, Pemeran Pendukung Pria Terbaik, dan Pemeran Pendukung Wanita Terbaik). Rekor tertinggi masih dipegang olehDi Balik Kelambu pada tahun1983 dan3 Hati Dua Dunia, Satu Cinta pada tahun2010 – keduanya memenangkan 5 piala dari 6 piala utama yaitu Film Terbaik, Penyutradaraan Terbaik, Pemeran Utama Pria Terbaik, Pemeran Utama Wanita Terbaik, dan Pemeran Pendukung Pria Terbaik; kemudianPacar Ketinggalan Kereta pada tahun1989 yang memenangkan 5 piala dari 6 piala utama di kategori Film Terbaik, Penyutradaraan Terbaik, Pemeran Utama Pria Terbaik, Pemeran Utama Wanita Terbaik, dan Pemeran Pendukung Wanita Terbaik; sertaJatuh Cinta Seperti di Film-Film yang memenangkan 5 piala dari 6 piala di kategori Film Cerita Panjang Terbaik, Pemeran Utama Pria Terbaik, Pemeran Utama Wanita Terbaik, Pemeran Pendukung Pria Terbaik, dan Pemeran Pendukung Wanita Terbaik. Kemudian disusul olehIbunda pada tahun 1986,Arisan! pada tahun 2004, danSang Penari pada tahun 2011 – masing-masing memenangkan 4 piala dari 6 piala utama.Ibunda menang di kategori Film Terbaik, Penyutradaraan Terbaik, Pemeran Utama Wanita Terbaik, dan Pemeran Pendukung Wanita Terbaik – demikian pula denganSang Penari. SedangkanArisan! menang di kategori Film Terbaik, Pemeran Utama Pria Terbaik, Pemeran Pendukung Pria Terbaik, dan Pemeran Pendukung Wanita Terbaik.[29]
Pada tahun2018,Marlina si Pembunuh dalam Empat Babak mencatatkan suatu sejarah baru. Dinominasikan untuk 14 kategori (rekor nominasi terbanyak), film ini berhasil memenangkan 10 di antaranya (rekor memenangkan terbanyak). Rekor ini sebelumnya dipegang selama 32 tahun olehIbunda pada1986 dengan memenangkan 9 penghargaan dari 11 nominasi. NamunMarlina pun hanya memenangkan 4 dari 6 piala utama; yaitu Film Terbaik, Penyutradaraan Terbaik, Pemeran Utama Wanita Terbaik, dan Pemeran Pendukung Wanita Terbaik – pada kategori yang sama untuk ketiga kalinya; setelahIbunda pada 1986 danSang Penari pada 2011.
Pada tahun2019,Kucumbu Tubuh Indahku menambah daftar pemenang 4 piala dari 6 piala utama; dengan memenangkan kategori Film Terbaik, Penyutradaraan Terbaik, Pemeran Utama Pria Terbaik, dan Pemeran Pendukung Pria Terbaik. Disamping itu juga berhasil meraup 8 penghargaan dari 12 nominasi – menjadikannya film peraih nominasi terbanyak yang memenangkan penghargaan terbanyak pada tahun ini. Meskipun demikian belum bisa mematahkan rekorMarlina Si Pembunuh dalam Empat Babak (2018) ataupunIbunda (1986), dan hanya menyamai rekorPacar Ketinggalan Kereta (1989).[30]
Pada tahun2020,Perempuan Tanah Jahanam mencatatkan rekor baru. Film ini dinominasikan untuk 17 kategori (rekor nominasi terbanyak), rekor yang sebelumnya dipegang olehMarlina si Pembunuh dalam Empat Babak pada tahun 2018.[31] Namun ia hanya berhasil memenangkan 6 di antaranya; termasuk untuk Film Terbaik, Penyutradaraan Terbaik, dan Pemeran Pendukung Wanita Terbaik. Sehingga masih belum bisa mematahkan rekor Marlina untuk memenangkan penghargaan terbanyak.
Pada FFI2021,Penyalin Cahaya menyamai rekorPerempuan Tanah Jahanam (2020) danMarlina si Pembunuh dalam Empat Babak (2018) dimana film ini dinominasikan untuk 17 kategori dan memecahkan rekor penghargaan terbanyak dengan 12 penghargaan dari 17 nominasi, mengalahkanMarlina Si Pembunuh dalam Empat Babak (2018) danIbunda (1986).
Pada FFI2023,Budi Pekerti juga menyamai rekorPenyalin Cahaya (2021),Perempuan Tanah Jahanam (2020) danMarlina si Pembunuh dalam Empat Babak dengan 17 nominasi, namun hanya mendapatkan 2 penghargaan diantaranya Pemeran Utama Perempuan Terbaik dan Pemeran Pendukung Perempuan Terbaik.
PadaFestival Film Indonesia 2024,Jatuh Cinta Seperti di Film-film menjadi film pertama yang memenangkan keempat kategori akting,Ringgo Agus Rahman untukPemeran Utama Pria Terbaik,Nirina Zubir untukPemeran Utama Perempuan Terbaik,Alex Abbad untukPemeran Pendukung Pria Terbaik, danSheila Dara Aisha untuk untukPemeran Utama Perempuan Terbaik.
Daftar rekor
Kontroversi menjerat FFI saat pertama kali diprakarsai olehUsmar Ismail danDjamaluddin Malik pada penyelenggaraan pertamanya tahun1955. Ketika itu dewan juri mendapukTarmina garapanLilik Sudjio sebagai Film Terbaik. Namun, para kritikus film menganggap keputusan itu janggal, karena filmLewat Djam Malam dari Usmar Ismail dianggap lebih layak mendapat titel Film Terbaik. Akhirnya, pada tahun tersebut FFI memiliki 2 pemenang Film Terbaik. FFI 1955 turut memunculkan pemenang kembar untuk kategori Pemeran Utama Pria Terbaik, Pemeran Utama Wanita Terbaik, dan Pemeran Pendukung Pria Terbaik.[32]
Munculnya tiga kategori dengan pemenang kembar pada FFI 1955 dianggap usaha menyenangkan Djamaluddin Malik, pendiriPersari yang juga penggagas FFI. Tiga pemenang (A. Hadi,Fifi Young,Awaludin) adalah bintang Persari, yang dicurigai dimenangkan untuk mendampingi pemenang sesungguhnya dariPerfini (A.N. Alcaff,Dhalia,Bambang Hermanto). Begitu pula pemberian penghargaan sutradara terbaik pada Lilik Sudjio dalam film produksi Persari,Tarmina, mengalahkan Usmar Ismail padaLewat Djam Malam produksi Perfini. Keputusan kontroversial tersebut terulang pada tahun1960, saat filmPedjuang karya Usmar Ismail, dikandaskan filmTurang karya sutradaraBachtiar Siagian. Lantaran kecewa dengan keputusan tersebut, Usmar Ismail tak lagi berniat menyertakan karyanya dalam FFI selanjutnya.[33]
Hal yang sama terulang padaFestival Film Indonesia 1974, namun dengan pembedaan tingkat pemenang. Film, Pemeran Utama Pria, dan Pemeran Utama Wanita “dengan pujian” menerima Piala Citra, sedangkan yang disebut “dengan penghargaan” tidak menerimanya, sehingga dianggap sebagairunner-up. Pada tahun itu pula, dewan juri FFI tidak memiliki pemenang Pemeran Pembantu Pria dan Wanita Terbaik.[34]
Tahun1967, sineas tanah air pun dikejutkan dengan keputusan kontroversial panitia FFI, lantaran dinyatakan tidak ada pemenang dalam kategori Film Terbaik. Pada tahun tersebut,Misbach Yusa Biran dinobatkan sebagai sutradara terbaik, dengan film yang berjudulDibalik Tjahaja Gemerlapan. FFI 1967 sangat bersifat politis, antara lain untuk menggairahkan kembali produksi film nasional yang lama tersendat akibat pergolakan politik nasional pasca-Gerakan 30 September. Karena itu juri bersikap sangat keras hingga tidak ada film terbaik.[33]
Kejadian pada tahun 1967 terulang kembali sepuluh tahun kemudian. PenyelenggaraanFestival Film Indonesia 1977 mendadak geger lantaran Ketua Dewan Juri saat itu, D. Djayakusumah pingsan saat membacakan pertimbangan dan keputusannya. Bukan hanya itu, Dewan Juri juga memutuskan tidak ada pemenang Film Terbaik pada edisi FFI tahun tersebut. Padahal dua film yang tengah bersaing dianggap layak dinobatkan sebagai Film Terbaik tahun itu, diantaranyaSi Doel Anak Modern yang disutradaraiSjumandjaja danSesuatu yang Indah garapanWim Umboh.[32] Dewan juri FFI 1977 memutuskan tidak ada film terbaik karena tidak satu film pun memenangi sekaligus empat kategori yang disyaratkan: penyutradaraan, penulisan skenario, penataan fotografi, dan penyuntingan. Persyaratan tersebut ditetapkan sendiri oleh para juri, dan bukan merupakan kriteria baku.[34]
PadaFestival Film Indonesia 1984, FFI lagi-lagi tidak menetapkan peraih Piala Citra untuk Film Terbaik. Kejadian itu diperparah lantaran saat malam penganugerahan, kategori Film Terbaik yang saat itu dibacakan olehMenteri PeneranganHarmoko ini kenyataannya hanya membawa amplop kosong tanpa adanya nama pemenang Film Terbaik, meski dewan juri saat itu bersikukuh telah memilih pemenang kategori tersebut.[33] Alasan tidak ada film terbaik pada FFI 1984 berbeda lagi. Favorit pemenang,Penumpasan Pengkhianatan G30S/PKI karya Arifin C Noer oleh juri diangap bukan film cerita, tetapi lebih merupakandoku-drama.[34] Sejak saat itu, FFI menetapkan aturan bahwa dewan juri harus memilih Film Terbaik.[32]
Pada tahun1980, kontroversi pun berlanjut, lantaran film karya sutradaraArifin C. Noer yang berjudulYuyun Pasien Rumah Sakit Jiwa dimasukkan dalam kategori Film Cerita Panjang Terbaik. Sejumlah wartawan film memprotes keputusan tersebut karena diketahui, film tersebut diproduksi dengan izinfilm dokumenter.[33]
Pada tahun2006 FFI menyatakanEkskul sebagai film terbaik dengan menyabet tiga piala Citra dalam ajangFestival Film Indonesia 2006. Hal ini menimbulkan protes dari seluruh sineas film yang pernah menerima penghargaan Piala Citra sebelumnya. Sebagai bentuk protes mereka mengembalikan seluruh penghargaan mereka, karena menganggap bahwa filmEkskul tidak layak sebagai film terbaik, di antaranya karena adanya unsur plagiat, dan melanggar hak cipta sebab menggunakan ilustrasi musik dari film-film luar negeri yakniTaegukgi,Gladiator, danMunich. Mereka secara tegas menolak keputusan juri FFI 2006.[35]
Berdasarkan Surat Keputusan (SK) bernomor 06/KEP/BP2N/2007, tentang Pembatalan Piala Citra Utama untuk Film Terbaik yang ditandatangani oleh ketua BP2N,Deddy Mizwar, Piala Citra untuk Sutradara Terbaik Festival Film Indonesia 2006 itu secara resmi dibatalkan.[36]
Komite Festival Film Indonesia (KFFI), panitia yang menaungi FFI saat itu, memberhentikan dengan hormat dewan juriFestival Film Indonesia 2010 yang diketuaiJujur Prananto dan mengangkat dewan juri baru pada 1 Desember 2010 malam.[37] KFFI akhirnya memutuskan, dewan juri FFI 2010 terdiri atas lima anggota Komite Seleksi yang lama ditambah dua orang baru, yaitu musisi Areng Widodo dan aktorAlex Komang.[38] Menurut Pengarah Komite Festival Film Indonesia (KFFI),Deddy Mizwar, ikhwal kemelut FFI 2010 itu bersumber dari Buku Pedoman FFI karena tidak ada pasal yang secara jelas mengatur hubungan antara Komite Seleksi dan dewan juri. Komite Seleksi awalnya keliru menetapkan hanya delapan film yang lolos seleksi, padahal seharusnya sepuluh. Adapun dewan juri menilai adanya film lain, selain yang sudah ditetapkan oleh Komite Seleksi.
Sampai menjelang pengumuman nominasi diBatam, dewan juri FFI 2010 tetap pada pendirian walau KFFI telah meminta mereka hanya menilai sepuluh judul film. Hal ini membuahkan jalan buntu sehingga nominasi batal diumumkan dan ditunda hingga 3 Januari 2010. Sepanjang sejarah FFI yang dimulai pada tahun 1955, baru kali ini dewan juri dipecat oleh panitia.[39]
Penyelenggaraan FFI tahun2017 turut diwarnai kontroversi. Pasalnya, filmPosesif garapan sutradaraEdwin dianggap tidak sah oleh beberapa kalangan mengikuti ajang FFI tahun itu karena belum dirilis di bioskop sampai hari pengumuman nominasi tanggal 5 Oktober 2017. SutradaraRiri Riza selaku Ketua Bidang Penjurian menjelaskan bahwa meskiPosesif belum dirilis secara komersial, sebenarnya pada bulan SeptemberPosesif sudah ditayangkan dalam beberapa bioskop kecil di Jakarta dan Bandung, dan bersama perubahan aturan lain, membuat film itu lolos seleksi FFI 2017. Sebelumnya filmSiti yang memenangkan Film Terbaik di FFI 2015 juga belum dirilis secara komersial sebelum pembacaan nominasi tapi sudah dirilis di beberapa bioskop terpilih, meloloskanSiti untuk FFI tahun itu.[40]
|url=
(bantuan)|author=
dan|last=
yang digunakan (bantuan)|author=
dan|last=
yang digunakan (bantuan)|editor-last=
dan|editor=
yang digunakan (bantuan)