Pusat Penelitian Arkeologi Nasional atau biasa disingkat menjadiPuslit Arkenas, dulu adalah unit di bawahBadan Penelitian dan PengembanganKementerian Pendidikan dan Kebudayaan yang bertugas melaksanakan penyusunan kebijakan teknis dan penelitian di bidangarkeologi.[1] Untuk mendukung pelaksanaan tugasnya, organisasi ini dulu juga memiliki sepuluhbalai arkeologi yang tersebar di seantero Indonesia.
Tugas dari organisasi ini dulu meliputi penyiapan bahan kebijakan teknis, penyusunan program, pelaksanaan, koordinasi dan fasilitasi, konservasi dan arkeometri, kerja sama, pendayagunaan dan pelayanan data, serta pemantauan dan evaluasi di bidang penelitian dan pengembangan arkeologi.[2][3]
Pada tahun 2022, organisasi ini digabung ke dalamBadan Riset dan Inovasi Nasional. Pegawainya kemudian dialihkan keOrganisasi Riset Arkeologi, Bahasa, dan Sastra.[4]
Sejak abad ke-19, perawatan benda purbakala merupakan tugas dari kepala daerah, dan terkadang kepala daerah juga mendapat perintah langsung dariGubernur Jenderal. Pada tahun 1840, para kepala daerah diminta oleh Gubernur JenderalCarel Sirardus Willem van Hogendorp untuk mengirimkan daftar benda purbakala yang ada di daerahnya masing-masing dan melaporkan segala sesuatu yang terkait dengan benda tersebut dalam jangka waktu yang singkat. Pengumpulan koleksi di bidang etnografi baru dilakukan pada tahun 1862, melalui instruksi Gubernur JenderalLudolph Anne Jan Wilt Sloet van de Beele, dan koleksi-koleksi tersebut akan diberikan kepadaBataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen yang diberi kebebasan untuk menentukan apakah benda-benda tersebut akan disimpan di museum mereka sendiri, atau akan dikirim ke Belanda untuk ditempatkan di Museum Purbakala diLeiden.[5]
Organisasi ini memulai sejarahnya pada tahun 1901 saat pemerintah Hindia Belanda membentukCommissie in Nederlandsch Indie voor Oudheidkundige Onderzoek op Java en Madoera untuk menangani urusan kepurbakalaan diJawa danMadura.[6][7] Brandes pun diangkat sebagai ketua dari komisi tersebut, dengan dibantu oleh dua orang anggota, yaituJ. Knebel danH.L. Leydie Melville.[6] Pada tahun 1905, Brandes meninggal, sehingga pada tahun 1910,N.J. Krom ditunjuk sebagai ketua.[6]
Krom kemudian menyadari bahwa tugas yang diembannya cukup berat,[6] sehingga ia merasa bahwa urusan kepurbakalaan harus ditangani oleh lembaga, bukan sekedar komisi.[6] Pada tahun 1913, pemerintah Hindia Belanda akhirnya membentukOudheidkundige Dienst in Nederlandsch-Indie untuk menangani urusan kepurbakalaan.[6] Lembaga tersebut diletakkan di bawahDepartemen Pendidikan, Ibadah, dan Industri Kerajinan. Krom kemudian ditunjuk sebagai kepala dari lembaga tersebut, tetapi Krom hanya menjabat hingga tahun 1915, karena ia harus kembali keBelanda.[6] Lembaga tersebut berkantor pusat di gedung yang sama denganBataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen.
Lembaga tersebut diberi tugas menyusun, menginventarisasi, serta mengawasi peninggalan purbakala di seantero Hindia Belanda. Selain itu, lembaga tersebut juga diberi tugas merencanakan dan melakukan pemugaran, melakukan pengukuran dan penggambaran, serta melakukan penelitian terhadap peninggalan purbakala. Bersama pemerintah setempat, lembaga tersebut juga diberi tugas mengawasi benda purbakala, agar tidak ada yang dirusak, dihancurkan, dicuri, atau diekspor secara ilegal.
Pada tahun 1916,F.D.K Bosch diangkat sebagai kepala dari lembaga tersebut.[6] Bosch pun memimpin lembaga tersebut selama sekitar 20 tahun. Selama kepemimpinannya, banyak hal yang dilakukan untuk memajukan kepurbakalaan diHindia Belanda melalui pemikiran di berbagai bidang, baikprasejarah,kesenian,arsitektur,kebudayaan, maupunepigrafi, sehingga kepurbakalaan di Indonesia mulai sejajar dengan kepurbakalaan di negara-negara lain.[6]
Pada masa pendudukan Jepang di Indonesia,Oudheidkundige Dienst diubah namanya menjadiKantor Urusan Barang-Barang Purbakala. Setelah Indonesia merdeka, pada tahun 1946, terjadi dualisme lembaga kepurbakalaan, yakni di bawah pemerintah Indonesia dengan nama Kantor Urusan Barang-Barang Purbakala dan di bawah pemerintah Belanda yang masih ingin berkuasa di Indonesia dengan namaOudheidkundige Dienst yang dipimpin olehJ.L. van Romondt.Oudheidkundige Dienst juga memiliki kantor cabang diMakassar.
Setelah pergolakan agak mereda, pada tahun 1947, urusan kepurbakalaan di Indonesia ditangani olehOudheidkundige Dienst yang dipimpin olehA.J. Bernet Kempers. Pada tahun 1950, lembaga tersebut dijadikan Bahagian Purbakala dariJawatan Kebudayaan Republik Indonesia Serikat. Pada tahun 1951, Bahagian Purbakala diubah menjadi Dinas Purbakala dan dipimpin oleh Kempers. Pada tahun 1953, Kempers digantikan olehR. Soekmono yang baru lulus dariUniversitas Indonesia. Pada tahun 1958, Dinas Purbakala diubah namanya menjadiDinas Purbakala & Peninggalan Nasional (DPPN). Pada saat itu, DPPN telah memiliki tiga kantor cabang, yaitu diPrambanan,Gianyar, danMojokerto.
Pada tahun 1963/1964, DPPN diubah namanya menjadiLembaga Purbakala & Peninggalan Nasional (LPPN). Pada tahun 1973, Soekmono digantikan olehSatyawati Suleiman. Pada tahun 1975, LPPN dibagi menjadi dua organisasi, yaituDirektorat Sejarah & Purbakala (DSP) yang bertugas menangani urusan administrasi dan perlindungan kepurbakalaan di Indonesia danPusat Penelitian Purbakala & Peninggalan Nasional (Pusat P3N) yang bertugas menyelenggarakan penelitian arkeologi. DSP diletakkan di bawahDirektorat Jenderal Kebudayaan.
Pada tahun 1978, saat dipimpin olehR.P. Soejono, Pusat P3N diubah namanya menjadiPusat Penelitian Arkeologi Nasional (Puslit Arkenas) dan secara organisasi diletakkan di bawahSekretariat Jenderal Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Organisasi ini kemudian membentuk duaunit pelaksana teknis baru (Balai Arkeologi Denpasar dan Balai Arkeologi Yogyakarta) dan dua laboratorium baru (Laboratorium Paleoekologi & Radiometri diBandung dan Laboratorium Bioantropologi dan Paleoantropologi diYogyakarta).
Sejak masa kepemimpinan Satyawati Suleiman, telah dilakukan sejumlah kerja sama penelitian arkeologi, antara lain denganÉcole Française d'Extrême-Orient,SEAMEO Project in Archaeology and Fine Arts (SPAFA),Toyota Foundation,Japan Foundation, danFord Foundation. Melalui kerjasama tersebut, penelitian arkeologi pun berkembang pesat.
Di bawah kepemimpinanHasan Muarif Ambari, organisasi ini membentuk delapan unit pelaksana teknis baru, yaitu Balai Arkeologi Palembang,Balai Arkeologi Medan, Balai Arkeologi Bandung (Laboratorium Paleoekologi & Radiometri digabung ke balai ini), Balai Arkeologi Banjarmasin, Balai Arkeologi Manado, Balai Arkeologi Ambon, dan Balai Arkeologi Jayapura. Sedangkan Laboratorium Bioantropologi dan Paleoantropologi diserahkan keUniversitas Gajah Mada.
Pada tahun 2000, organisasi ini diubah namanya menjadiPusat Arkeologi dan diletakkan di bawah Direktorat Jenderal Sejarah & Purbakala dariDepartemen Kebudayaan & Pariwisata. Pada tahun 2001, organisasi ini kembali diubah namanya menjadiPusat Penelitian Arkeologi dan diletakkan di bawah Deputi Bidang Pelestarian & Pengembangan Kebudayaan dariBadan Pengembangan Kebudayaan & Pariwisata.
Pada tahun 2003, seiring dengan digabungnya Badan Pengembangan Kebudayaan & Pariwisata ke dalamKementerian Negara Kebudayaan & Pariwisata, organisasi ini diubah namanya menjadiAsisten Deputi Urusan Arkeologi Nasional dan diletakkan di bawah Deputi Bidang Sejarah & Purbakala.[6] Pada tahun 2011, organisasi ini kembali diubah namanya menjadiPusat Penelitian Arkeologi Nasional (Puslit Arkenas) dan diletakkan di bawahBadan Penelitian Pengembangan Kemendikbud.
Pada tahun 2022, organisasi ini digabung ke dalamBadan Riset dan Inovasi Nasional. Pegawainya kemudian dialihkan keOrganisasi Riset Arkeologi, Bahasa, dan Sastra.[4]