Siguntur کراجاءن سيڬونتور | |||||||||||
---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|
1250–1347 | |||||||||||
Bendera | |||||||||||
Ibu kota | Siguntur, sitiung, Dharmasraya | ||||||||||
Bahasa yang umum digunakan | Minang | ||||||||||
Agama | DariBuddha berubah menjadiIslam | ||||||||||
Pemerintahan | Monarki | ||||||||||
Sutan | |||||||||||
Sejarah | |||||||||||
• RuntuhnyaDharmasraya | 1250 | ||||||||||
• Bergabung denganPagaruyung | 1347 | ||||||||||
| |||||||||||
Kerajaan Siguntur adalah sebuah kerajaan yang berdiri semenjak tahun 1250 pasca runtuhnyaKerajaan Dharmasraya. Kerajaan ini bertahan selama beberapa masa hingga kemudian dikuasai olehKerajaan Pagaruyung, tetapi sampai sekarang ahli warisistana kerajaan masih ada dan tetap bergelarSutan. Ahli waris yang memegang jabatan raja Siguntur hingga saat ini adalahSutan Hendri. Kalau diperhatikan dari raja-raja yang pernah memerintah, kerajaan ini juga bernaung di bawah kerajaan Pagaruyung di bawah pemerintahan Adityawarman. Bahasa yang dipergunakan di kerajaan Siguntur adalah bahasa Minang dialek Siguntur yang mirip dengan dialek Payakumbuh.[1][2]
Sejarah kerajaan Siguntur belum banyak diketahui, namun menurut sumber lokal menyebutkan bahwa daerah Siguntur merupakan sebuah kerajaan Dharmasyraya di Swarnabhumi (Sumatra) yang berkedudukan di hulu sungaiBatanghari, sungai ini melintasi ProvinsiJambi dan kemudian bermuara dilaut Cina Selatan. Sebelum agama Islam masuk ke wilayahMinangkabau atau Jambi, kerajaan Siguntur merupakan kerajaan kecil yang bernaung di bawahkerajaan Malayu, namun pernah bernaung pula pada kerajaan Sriwijaya, Majapahit, Singasari, dan Minangkabau.[3]
Pada tahun 1197 (1275 M), Siguntur merupakan pusat Kerajaan Malayu dengan rajanya Mauliwarmadewa yang bergelar Sri Buana Raya Mauliawarmadewa sebagai raja Dharmasraya. Sedangkan dalam prasasti Amonghapasa menyebutkan bahwa pada tahun 1286 Sri Maharaja Tribhuwanaraja Mauliawarmadewa bersemayam di Dharmasraya, sekarang kabupaten darmasraya . Dengan kata lain kerajaan Swarnabhumi pada waktu itu telah dipindahkan dari Jambi ke Dharmasraya. Melihat kedua pendapat tersebut, ada kemungkinan pada abad 12 kerajaan Siguntur ini berasal dari kerajaan Swarnabhumi Malayupuri Jambi.[4]
Pada abad ke-14, agama Islam masuk ke Kerajaan Siguntur. Pada waktu itu yang berkuasa adalah raja Pramesora yang berganti nama menjadi Sultan Muhamad Syah bin Sora Iskandarsyah. Selanjutnya kerajaan Siguntur bernaung di bawah Kerajaan Alam Minangkabau. Salah satu bukti Kerajaan Siguntur menganutagama Islam terlihat pada masyarakat yang memegang prinsip syarak bersandi Kitabullah. Selain itu, ditemukan pula dua buah stempel kerajaan Siguntur berbahasa Arab yang menyebutkan bahwa "Cap ini dari Sultan Muhammad Syah bin Sora Iskandar atau Muhammad Sultan Syah Fi Siguntur Lillahi" dan "Cap ini bertuliskan bahwa Al-Watsiqubi 'inayatillahi' 'azhiim Sutan Sri Maharaja Diraja Ibnu Sutan Abdul Jalil 'inaya Syah Almarhum." Dan diperkirakan pada masa inilah Masjid Siguntur didirikan.[5]
Dalam kompleksMasjid Siguntur terdapatmakam Raja-raja Siguntur yang terdapat di sebelah utara bangunanmasjid.[6] Kompleks makam berdenah segi lima dengan ukuran panjang yang berbeda.Makam dibuat sangat sederhana, hanya ditandai dengan nisan dan jirat dari bata danbatu. Dari sekian banyak makam hanya enam makam yang diketahui, yaitu makam Sri Maharaja Diraja Ibnu bergelar Sultan Muhammad Syah bin Sora, Sultan Abdul Jalil bin Sultan Muhammad Syah Tuangku Bagindo Ratu II, Sultan Abdul Kadire Tuangku Bagindo Ratu III, Sultan Amirudin Tuangku Bagindo Ratu IV, Sultan Ali Akbar Tuangku Bagindo V, dan Sultan Abu Bakar Tuangku Bagindo Ratu VI.[6]
Pada tahun 1957 telah dilakukan rehabilitasi lantai masjid dari papan menjadi plesteransemen oleh ahli waris dan masyarakat setempat. Kegiatan studi kelayakan terhadap Rumah Adat dan Masjid Siguntur dilaksanakan pada tahun 1991/1992 oleh Bagian Proyek Pelestarian/Pemanfaatan Peninggalan Sejarah dan PurbakalaSumatera Barat, Kanwil Depdikbud Provinsi Sumatera Barat. Masjid Siguntur dipugar dengan kegiatan antara lain: pembongkaran atap beserta rangkanya, tiang, pondasi, dinding, dan lantai. Kemudian pemasangan kembali yang baru. Pekerjaan lainnya yaitu pembongkaran pintu dan jendela, pembuatan selasar, pagar beton, pagar kawat berduri, serta pintu besi. Terakhir pengecatan rangka atap dinding, pintu, jendela, dan pagar tembok.[1][7]
Kerajaan Siguntur yang mengklaim masih turunan dari Kerajaaan Dharmasraya, mengusulkan kepada pemerintah untuk membuat duplikatArca Bhairawa danArca Amoghapasa dan memindahkan semua penemuan di Dharmasraya yang kini tersimpan diMuseum Adityawarman Padang dan Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala,Batusangkar, ke Siguntur, Dharmasraya. Salah seorang pewaris kerajaan Siguntur ini ialah Tuan Putri Marhasnida. Pihak pewaris kerajaan Siguntur tersebut pernah meminta kepada pemerintah setempat untuk mendirikan museum kecil di pinggiran Sungai Batanghari di Siguntur yang dipergunakan untuk menyimpan benda-benda sisa-sisa dari Kerajaan Dharmasraya agar dapat tersimpan dan terjaga dengan baik serta peninggalan-peninggalan tersebut tidak hilang. Selain itu, museum ini juga difungsikan sebagai pusat informasi peninggalan-peninggalan dari Kerajaan Dharmasraya dan Kerajaan Siguntur. Pada saat ini, meseum tersebut disebut dengan nama Museum Keluarga Kerajaan Siguntur. Lokasi dari Museum tersebut yakninya berada di Jorong Sigunur, Kabupaten Dharmasraya.[8][9]
Selain Kerajaan Siguntur, juga ada kerajaan kecil setelah Islam yang juga mengaku berhubungan dengan Kerajaan Dharmasraya pra-Islam. Kerajaan-kerajaan itu adalahKerajaan Koto Besar,Kerajaan Pulau Punjung,Kerajaan Padang Laweh, danKerajaan Sungai Kambut yang masing-masing juga memiliki sejumlah peninggalan kuno. Setiap kerajaan-kerajaan tersebut memiliki peninggalan masing-masing. Peninggalan tersebut dapat berupa benda sertahutan adat. Salah satunya kerajaan Padang Laweh yang mempunyai peninggalan berupaRumah Adat Kerjaan Padang Laweh yang masih ada dan terjaga sampai saat sekarang ini.[9][10][11]
Kerajaan Siguntur ini menyisakan sebuah jenis tarian yang disebuttari toga (tari larangan), sebuah tarian yang mirip dengan tarian Melayu dan tarian Minang. Tari toga menjadi tari resmi kerajaan dan ditampilkan pada upacara penobatan raja (batagak gala), pesta perkawinan keluarga raja, upacara turun mandi anak raja, perayaan kemenangan pertempuran, dangelanggang mencari jodoh putri raja. Pada saatBelanda berhasil masuk ke Siguntur pada tahun 1908, raja-raja di Siguntur dan sekitarnya terpaksa mengakui kedaulatanHindia Belanda yang menyebabkan raja kehilangan kedaulatannya. Banyak benda kerajaan yang diambil oleh orang Belanda, termasuk tambo (riwayat kerajaan yang tertulis) dan aktivitaskesenian kerajaan, termasuktari toga.[1][8]
Semenjak keberadaan Belanda tersebut, tari toga sudah tidak dipertunjukkan lagi. Parapenari danpedendang yang pandai dari tari tersebut banyak yang meninggal sehingga tidak ada generasi penerusnya sehingga membuat tari ini hanya diingat dan diketahui dari cerita turun-temurun. Pada tahun 1980, pewaris Kerajaan Siguntur, Tuan Putri Marhasnida, menemukan seorang kakek yang kala itu sudah berusia 80 tahun. Sang kakek tersbut masih hafal semua dendang yang terdapat dalam tari toga sebab beliau selalu melantunkan dendang ketika melakukan kegiatanBatobo. Batobo adalah membersihkan kebun atau menyabit di sawah bersama-sama yang melibatkan 30 sampai 60 orang. Si pendendang selalu Batobo agar orang-orang tak bosan bekerja seharian, ia disuruh berdendang sambil bekerja. Pada tahun 1989, dengan terkumpulnya semua infomasi yang berkaitan dengan tari toga maka tari toga pada tahun tersebut hidup kembali dan dapat dipertunjukkan kembali dengan adanya sedikit modifikasi. Tari toga modifikasi Marhasnida ini kemudian ditampilkan diRadio Republik Indonesia (RRI) Padang pada 1990 dan dimainkan dalam berbagai acara Kerajaan Siguntur, termasuk menyambut peserta "Arung Sejarah Bahari Ekspedisi Pamalayu" yang diselenggarakan Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Padang.[8][12]
Berikut raja-raja Siguntur:[1]