Kata "chaste" dan "chastity" berasal dari kata sifatLatincastus yang berarti "pure" ("murni"). Kedua kata tersebut dimasukkan ke dalam bahasa Inggris pada sekitar pertengahan abad ke-13, dan pada saat itu memiliki arti yang sedikit berbeda. "Chaste" berarti memiliki kebajikan atau kemurnian dari hubungan seksual yang melanggar hukum (merujuk pada seks di luar nikah),[3][4] sedangkan "chastity" berarti "keperawanan".[4][5] Pada akhir abad ke-16 kedua kata ini menjadi memiliki makna dasar yang sama sebagai kata benda dan kata sifat terkait.[3][4]
"Kaul kemurnian" beralih ke halaman ini. Untuk kaul-kaul religius Katolik, lihatNasihat Injil. Untuk kaul kemurnian dalam Gereja Kristen lainnya, lihatKaul religius.
Dalam banyak tradisiKristen, kemurnian identik dengan kemurnian seksual. Kemurnian berarti tidak memiliki hubungan seksual apapun sebelum pernikahan. Selain itu juga berarti kesetiaan kepada suami atau istri dalam pernikahan. Dalam moralitasKatolik, kemurnian ditempatkan sebagai lawan daridosa pokokhawa nafsu, dan diklasifikasikan sebagai salah satu daritujuh kebajikan. Pengendalian hasrat seksual diwajibkan demi kebajikan. Akal, kehendak dan hasrat dapat bekerja sama secara harmonis untuk melakukan apa yang baik.
Dalampernikahan, pasangan suami-istri berkomitmen untuk hubungan seumur hidup yang mana mengecualikan keintiman seksual dengan orang lain. Di dalam pernikahan, berbagaiagama Abrahamik memandang beberapa praktik sebagai tidak murni, seperti keintiman seksual selama atau sesaat setelahmenstruasi ataukelahiran anak.[6] Setelah pernikahan, bentuk ketiga dari kemurnian yang sering disebut "vidual chastity", diharapkan dari seorang wanita sementara ia sedang berduka atas almarhum suaminya. Sebagai contoh, Uskup AnglikanJeremy Taylor mendefinisikan 5 aturan dalamHoly Living (1650), termasuk berpantang menikah "selama ia bersama anak dari suaminya terdahulu" dan "dalam tahun perkabungan".[7]
Sistem etika tertentu mungkin tidak menentukan beberapa hal tertentu. Sebagai contoh, Katolik Roma memandang seks dalam pernikahan adalah suci atau murni tetapi melarang penggunaankontrasepsi buatan karena melanggar kemurnian; kontrasepsi buatan dipandang tidak wajar, bertentangan dengan kehendak dan rancangan Allah terkait seksualitas manusia. Banyak komunitasAnglikan yang mengizinkan kontrasepsi buatan, karena menganggap pembatasan besarnya keluarga dengan kontrasepsi buatan mungkin tidak bertentangan dengan kehendak Allah. Pandangan yang lebih keras dipegang oleh kaumShaker, yang mana melarang pernikahan (danhubungan seksual dalam keadaan apapun) karena dianggap melanggar kemurnian.Gereja Katolik memiliki berbagai aturan terkaitselibat klerikal, sedangkan kebanyakan komunitas Protestan mengizinkan pendeta untuk menikah.
Selibat diwajibkan dalam kalanganmonastik (pararahib,biarawan dan biarawati), di mana seorang suami dapat saja masuk biara (khusus biarawan) jika istrinya juga masuk biara (khusus biarawati). Selibat di kalanganklerus merupakan suatu praktik yang relatif baru: hal ini ditetapkan sebagai kebijakan Gereja diKonsili Lateran II pada tahun 1139 dan diberlakukan secara tidak seragam di kalangan klerus hingga 200 tahun berikutnya.[8] Para imamKatolik Timur diizinkan untuk menikah, asalkan pernikahan dilakukan sebelumtahbisan dan di luar kehidupan membiara.
Kaul kemurnian juga dapat diikrarkan oleh kaum awam, baik sebagai bagian dari suatu kehidupan religius yang terorganisir (seperti kalanganBeguin dan Beghard Katolik Roma di masa lampau) atau secara individual: sebagai suatu tindakandevosi secara sukarela, atau sebagai bagian dari suatu gaya hidupasketik (sering kali dikhususkan padakontemplasi), atau juga keduanya.
Kemurnian merupakan salah satu konsep sentral dan penting dalampraksis Katolik Roma. Makna penting kemurnian dalam tradisi ajaran Katolik Roma berasal dari kenyataan bahwa kemurnian dipandang esensial dalam memelihara serta menumbuhkan kesatuan tubuh dengan jiwa dan karenanya integritas manusia.[9]:2332 Kemurnian juga dipandang sebagai kebajikan mendasar bagi praktik kehidupan Katolik karena melibatkan suatu "masa belajar dalam pengendalian diri".[10]:2339 Seseorang yang berhasil mengendalikan atau menguasai nafsunya, maka akal, kehendak, dan hasratnya dapat bekerja sama secara harmonis untuk melakukan apa yang baik.