Menurut tradisi, hanya tindakan-tindakan yang dikehendaki secara bebas yang layak dibenarkan atau dipersalahkan.
Kehendak bebas (bahasa Inggris:free will), ataukemauan bebas, adalah kemampuan untukmemilih di antara berbagai rencanatindakan berbeda yang memungkinkan. Hal ini terkait erat dengan konseptanggung jawab,pujian,kesalahan,dosa, dan penilaian-penilaian lain yang hanya berlaku pada tindakan-tindakan yang dipilih secara bebas. Selain itu juga berhubungan dengan konsepnasihat,persuasi,pertimbangan, dan larangan. Biasanya hanya tindakan-tindakan yang dikehendaki secara bebas yang dipandang layak untuk dibenarkan atau dipersalahkan. Terdapat banyak kekhawatiran berbeda terkait ancaman-ancaman terhadap kemungkinan adanya kehendak bebas, bervariasi berdasarkan bagaimana sebenarnya pemahaman akan hal ini, yang terkadang menjadi bahan perdebatan.
Beberapa kalangan memahami kehendak bebas sebagai kemampuan seseorang untuk membuat pilihan yang hasilnya belum ditentukan oleh peristiwa-peristiwa masa lalu.Determinisme menyatakan bahwa hanya satu rencana tindakan saja yang mungkin terjadi, sehingga tidak konsisten dengan keberadaan kehendak bebas tersebut. Masalah ini telah diidentifikasi dalamfilsafat Yunani kuno,[1] dan hingga sekarang masih menjadi fokus utama perdebatan filosofis. Pandangan tersebut, yang memahami kehendak bebas tidak sesuai dengan determinisme, disebutinkompatibilisme dan mencakup baiklibertarianisme metafisik, yang mengklaim bahwa determinisme adalah salah dan karenanya kehendak bebas mungkin ada, maupundeterminisme keras, yang mengklaim bahwa determinisme adalah benar dan karenanya kehendak bebas tidak mungkin ada. Hal ini juga mencakupinkompatibilisme keras, yang berpandangan bahwa baik determinisme ataupun penyangkalannya tidak selaras dengan kehendak bebas, dan oleh karena itu kehendak bebas dianggap mustahil dalam keadaan apapun berkenaan dengan determinisme.
Di sisi lain, parakompatibilis berpandangan bahwa kehendak bebas selaras dengan determinisme. Beberapa kompatibilis bahkan berpendapat kalau determinismediperlukan bagi kehendak bebas, dengan alasan bahwa pilihan melibatkan preferensi atas salah satu rencana tindakan di atas yang lainnya, membutuhkan perasaan mengenaibagaimana seandainya pilihan-pilihan yang ada terwujud menjadi kenyataan.[2][3] Para kompatibilis dengan demikian menganggap bahwa perdebatan antara kaum libertarian dan determinis keras mengenai kehendak bebas vs. determinisme merupakan suatudilema palsu.[4] Masing-masing kalangan kompatibilis berbeda mengemukakan definisi yang sangat berlainan mengenai makna "kehendak bebas", konsekuensinya masing-masing menemukan jenis-jenis batasan berbeda yang relevan dengan isu tersebut. Para kompatibilis klasik memandang kehendak bebas tidak lebih dari kebebasan bertindak, dengan pertimbangan bahwa seseorang hanya bebas berkehendak jika iamemiliki satu keinginan yang nyatanya tidak terjadi untuk melakukan sebaliknya dan iadapat melakukan yang sebaliknya tanpa hambatan fisik. Sementara para kompatibilis masa kini mengidentifikasi kehendak bebas sebagai suatu kemampuan psikologis, misalnya untuk mengarahkan perilaku seseorang dengan suatu cara yang responsif terhadap akal. Dan masih terdapat pendapat-pendapat berbeda yang bahkan lebih jauh lagi mengenai kehendak bebas, masing-masing sesuai dengan kepentingannya sendiri, dan hanya serupa ciri umumnya yaitu bukan untuk menemukan kemungkinan keberadaan determinisme sebagai suatu ancaman terhadap kemungkinan keberadaan kehendak bebas.[5]
Hawking, Stephen, and Mlodinow, Leonard,The Grand Design, New York, Bantam Books, 2010.
Bacaan lanjutan
Bischof, Michael H. (2004).Kann ein Konzept der Willensfreiheit auf das Prinzip der alternativen Möglichkeiten verzichten? Harry G. Frankfurts Kritik am Prinzip der alternativen Möglichkeiten (PAP). In: Zeitschrift für philosophische Forschung (ZphF), Heft 4.
Epstein J. M. (1999).Agent Based Models and Generative Social Science. Complexity, IV (5).
Gazzaniga, M. & Steven, M. S. (2004) Free Will in the 21st Century: A Discussion of Neuroscience and Law, in Garland, B. (ed.)Neuroscience and the Law: Brain, Mind and the Scales of Justice, New York: Dana Press,ISBN 1-932594-04-3, pp51–70.
Goodenough, O. R. (2004). "Responsibility and punishment".Philosophical Transactions of the Royal Society B.359 (1451): 1805–1809.doi:10.1098/rstb.2004.1548.
Kane, Robert (1998).The Significance of Free Will. New York: Oxford University PressISBN 0-19-512656-4
Lawhead, William F. (2005).The Philosophical Journey: An Interactive Approach. McGraw-Hill Humanities/Social Sciences/LanguagesISBN 0-07-296355-7.
Libet, Benjamin; Anthony Freeman; and Keith Sutherland, eds. (1999).The Volitional Brain: Towards a Neuroscience of Free Will. Exeter, UK: Imprint Academic. Collected essays by scientists and philosophers.
Nowak A., Vallacher R. R., Tesser A., Borkowski W. (2000). Society of Self: The emergence of collective properties in self-structure.Psychological Review. 107
Wegner, D. (2002).The Illusion of Conscious Will. Cambridge: Bradford Books
Williams, Clifford (1980).Free Will and Determinism: A Dialogue. Indianapolis:Hackett Publishing Company
John Baer, James C. Kaufman, Roy F. Baumeister (2008).Are We Free? Psychology and Free Will. Oxford University Press, New YorkISBN 0-19-518963-9
Reinhold Zippelius (2011).Rechtsphilosophie, § 25. 6th ed., Munich: C. H. BeckISBN 978-3-406-61191-9.
George Musser, "Is the Cosmos Random? (Einstein's assertion that God does not play dice with the universe has been misinterpreted)",Scientific American, vol. 313, no. 3 (September 2015), pp. 88–93.
Fate, Freedom and Neuroscience - a debate on whether free will is an illusion and pre-determined by theInstitute of Art and Ideas, featuring Oxford neuroscientist Nayef Al Rodhan, psychiatrist and broadcaster Mark Salter, and LSE philosopher Kristina Musholt.