Hubungan sumbang diketahui berpotensi tinggi menghasilkan keturunan yang secarabiologis lemah, baik fisik maupun mental (cacat), atau bahkan letal (mematikan). Fenomena ini juga umum dikenal dalam duniahewan dantumbuhan karena meningkatnyakoefisien kerabat-dalam pada anak-anaknya. Akumulasi gen-gen pembawa 'sifat lemah' dari keduatetua pada satu individu (anak) terekspresikan karenagenotipe-nya berada dalam kondisihomozigot.
Secara sosial, hubungan sumbang dapat disebabkan, antara lain, oleh ruangan dalam rumah yang tidak memungkinkan orang tua, anak, atau sesama saudara pisah kamar. Hubungan sumbang antaraorang tua dan anak dapat pula terjadi karena kondisipsikososial yang kurang sehat pada individu yang terlibat. Beberapa budaya juga menoleransi hubungan sumbang untuk kepentingan-kepentingan tertentu, sepertipolitik atau kemurnianras.
Akibat hal-hal tadi, hubungan sumbang tidak dikehendaki pada hampir semua masyarakatdunia. Semuaagama besar dunia melarang hubungan sumbang. Di dalam aturan agamaIslam (fikih), misalnya, dikenal konsepmahram yang mengatur hubungan sosial di antara individu-individu yang masih sekerabat. Bagi seseorang tidak diperkenankan menjalin hubungan percintaan atau perkawinan dengan orang tua, kakek atau nenek, saudara kandung, saudara sepihak (bukansaudara angkat atausaudara tiri), saudara dari orang tua,kemenakan, sertacucu. Di dalamAlkitabKristen (Imamat 18) tertulis larangan hubungan sedarah antara kekerabatan tertentu.
Pada kelompok masyarakat tertentu, seperti suku Polahi diKabupatenGorontalo,Sulawesi, praktik hubungan sumbang banyak terjadi. Perkawinan sesama saudara adalah hal yang wajar dan biasa di kalangan suku Polahi.
Kalangan bangsawanMesir Kuno, khususnya pascainvasiAlexander Agung, melakukan perkawinan dengan saudara kandung dengan maksud untuk mendapatkan keturunan berdarah murni dan melanggengkan kekuasaan. Contoh yang terdokumentasi adalah perkawinanPtolemeus II dengan saudara perempuannya,Elsinoé. Beberapa ahli berpendapat, tindakan seperti ini juga biasa dilakukan kalangan orang biasa. Toleransi semacam ini didasarkan padamitologi Mesir Kuno tentang perkawinan DewaOsiris dengan saudaranya, DewiIsis.
Pada masajahiliah,orang Arab terbiasa menikahi dua perempuan bersaudara sekaligus dan menikahi istri almarhum ayahnya. Praktik ini kemudian dilarang oleh Islam.[2]
Sacco, Lynn (2009).Unspeakable: Father–Daughter Incest in American History. Johns Hopkins University Press. 351ISBN978-0-8018-9300-1
Indrajit Bandyopadhyay (29 October 2008). "A Study In Folk "Mahabharata": How Balarama Became Abhimanyu's Father-in-law".Epic India: A New Arts & Culture Magazine
Đõ, Quý Toàn; Iyer, Sriya; Joshi, Shareen (2006). The Economics of Consanguineous Marriages. World Bank, Development Research Group, Poverty Team.
^Ali, Jawwad (2019) [1956-1960]. Kurnianto, Fajar, ed.كتاب المفصل في تاريخ العرب قبل الإسلام [Sejarah Arab Sebelum Islam–Buku 5: Politik, Hukum, dan Tata Pemerintahan]. Diterjemahkan oleh Ali, Jamaluddin M.; Hendiko, Jemmy. Tangerang Selatan: PT Pustaka Alvabet. hlm. 327.ISBN978-602-6577-28-3. Diarsipkan dariversi asli tanggal 2020-08-08. Diakses tanggal2020-09-27.Parameter|url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)