| Bagian dariseri tentang |
| Gereja Katolik |
|---|
| Ikhtisar |
Topik-topik lain |
Masalahperbudakan ditanggapi dengan serius dan penuh keprihatinan olehGereja Katolik. Sepanjang sebagian besar sejarah manusia, perbudakan telah dipraktikkan dan diterima oleh banyak budaya dan agama di seluruh dunia, termasukRomawi kuno. Bagian-bagian tertentu dalamPerjanjian Lama menyetujui bentuk-bentuk perbudakan sementara bagi orang Israel sebagai sarana untuk membayar hutang. Budak asing, ditangkap dalam perang atau dibeli, dan anak-anak mereka diperbudak seumur hidup.[1] Setelah legalisasi agama Katolik di bawah kekaisaran Romawi, terdapat sentimen yang berkembang bahwa banyak jenis perbudakan tidak sesuai dengan konsepsi Katolik tentang amal dan keadilan; beberapa orang menentang segala bentuk perbudakan sementara yang lain, termasukThomas Aquinas yang berpengaruh, berpendapat bahwa perbudakan harus tunduk pada pembatasan tertentu. Negara-negara Barat yang Katolik hampir sepenuhnya berhasil menegakkan bahwa orang Katolik yang merdeka tidak boleh diperbudak, misalnya ketika menjadi tawanan perang. Namun, hal ini terus mengalami perbaikan dan tidak diterapkan secara konsisten sepanjang sejarah. Abad Pertengahan juga menyaksikan munculnya ordo biarawan sepertiMercedarian yang didirikan dengan tujuan untuk menebus budak Katolik. Pada akhir periode Abad Pertengahan, perbudakan umat Katolik sebagian besar telah dihapuskan di seluruh Eropa meskipun perbudakan terhadap umat non-Katolik masih diperbolehkan dan mulai bangkit kembali di Spanyol dan Portugal. Dibolehkannya perbudakan tetap menjadi bahan perdebatan di dalam Gereja selama berabad-abad, dengan beberapaPaus mengeluarkan bulla mengenai masalah ini, sepertiSublimis Deus.
Pada tahun 1800-an, Gereja Katolik mencapai konsensus relatif yang mendukung pengutukan terhadap perbudakan harta benda dan memuji penghapusannya.