Film samurai atau filmchanbara (ちゃんばら映画code: ja is deprecated,chanbara eiga) adalah sebutan populer untuk film pertarunganpedang, subgenre dari filmjidaigeki.[1]Chanbara atauchambara (チャンバラcode: ja is deprecated) adalah aksi pertarungan pedang yang ditampilkan dalamsandiwara ataufilm diJepang. Chanbara adalahonomatope dari bunyi pedang saling beradu,chan chan bara bara.[2]Chanbara adalah juga genrefilm,drama televisi danteater Jepang yang adegan klimaksnya berupa pertarungan pedang.
Film pertarungan pedang yang disebut filmchanbara (film samurai) muncul pada era keemasanfilm bisu pada tahun1920-an.[1] SutradaraShōzō Makino membuat filmJitsuroku Chūshingura dan mengangkat sandiwara-sandiwara Shinkokugeki ke layar bioskop. Meski telah adafilm bersuara sekitar paruh kedua dekade1930-an,Kyokutō Eiga danZensho Kinema terus memproduksi film-film samurai secara massal dalam format film bisu.
Akira Kurosawa adalah sutradara yang banyak membuat filmchanbara danjidaigeki, misalnya:Seven Samurai (1954),Hidden Fortress (1958),Yojimbo (1961), danTsubaki Sanjuro (1962) yang semuanya dibintangi oleh aktorToshiro Mifune. Kalaujidaigeki berlatar waktu mulai darizaman Heian (794–1185) atau mungkin dari zaman sebelumnya, latar waktu filmchanbara terutama padaperiode Tokugawa (1603–1868).[3] Dalam filmchanbara, adegan terpenting adalah adegan aksi, terutama adegan terakhir berupatachimawari (pertarungan pedang).[4] Film selalu berakhir dengan adegan pertarungan pedang yang menggambarkan sang jagoan meladeni penyerang satu demi satu. Penjahat tidak pernah menyerang secara keroyokan, melainkan menunggu dengan sopan hingga tiba gilirannya untuk menyerang.[5]
Sejak dulu orang Jepang menggemari pementasankabuki yang berisi adegan pertarungan pedang dalam kisah-kisahjidaimono/jidaisewa tentang kehidupan rakyatzaman Edo. Pada tahun1917,Shōjirō Sawada mendirikan kelompok teaterShinkokugeki yang terkenal karena memperkenalkan adegan kengeki (剣劇code: ja is deprecated,kengeki) arti harfiah: sandiwara pedang yang realistik ke dalam pertunjukan teater Jepang.[4] Adegan pertarungan pedang dalam pentaskabuki yang disebuttachimawari (立回りcode: ja is deprecated), diubah oleh teater Shinkokugeki menjadi adegan perkelahian dan pertarungan pedang yang dalam dunia sandiwara/film disebuttate (ditulis dengan hiragana: たて, atau kanji: 殺陣).[6] Aksara kanji untuk istilahtate kemudian dibaca oleh teater Shinkokugeki menjadisatsujin yang artinya tetap sama, yakni adegan perkelahian atau pertarungan pedang.[6]
Pada tahun1919, Teater Shinkokugeki mementaskan sandiwarachanbara dengan judul-judul sepertiTsukigata Hanpeita danKunisada Chūji di Teater Kyoto Meiji-za. Di antaranya banyak yang dijadikan film layar lebar pada tahun1920-an. Shōjirō Sawada bersama anggota Shinkokugeki tampil dalam tiga buah film:Kunisada Chūji (1924) danOnshū no Kanata ni (1924), keduanya karya Shōzō Makino danTsukigata Hanpeita karyaTeinosuke Kinugasa (1925).
Dalam adegan filmKurama Tengu (1928), narator film bisu (benshi) Shinsui Matsui menyuarakan bunyi dua anak yang sedang berpura-pura melakukan pertarungan pedang dengan kuas kaligrafi, sebagai "chan chanbara chanbara". Kedua anak itu, seorang berpura-pura menjadiSaigo Takamori dan seorang lagi sebagai KuramaTengu.[4] Berkat kepopuleran film chanbara, anak-anak di Jepang pada masa itu menjadi senang bermain sebagai pendekar pedang bersenjatakan pedang mainan dan tongkat mereka.Furoshiki dijadikan penutup kepala seperti dikenakan Kurama Tengu.[7]
Sandiwara Jepang yang peran utamanya adalah perempuan atau disebutonna kengeki (女剣劇code: ja is deprecated, drama pedang perempuan) populer pada tahun1930-an.[8] Aktris-aktrisonna kengeki, misalnyaMichiko Ōe danYōko Fuji. AktrisMitsuyo Asaka juga memulai kariernya dari sandiwara pedang wanita.
SeusaiPerang Dunia II, Jepang diduduki olehKomandan Tertinggi Sekutu yang mengeluarkan perintah pelarangan filmchanbara.[7] Larangan itu dimaksudkan untuk mengubah Jepang dari negara diktator militer menjadi negara demokrasi.[7] Adegan membunuh orang,adauchi (balas dendam),seppuku dipandang meremehkan nyawa manusia, serta melambangkan nilai-nilai feodalistik serta loyalitas terhadap kekaisaran.[9] Filmjidaigeki masih diizinkan, tapi dilarang memasukkan adegan saling membunuh dengan pedang.[9] Sensor diberlakukan mulai dari tahapskenario oleh sebuah badan sipil bernamaCivil Information and Educational Section, disingkat CIE. Setelah selesai dibuat, film melewati badan sensor militer bernamaDetasemen Sensor Sipil (Civil Censorship Detachment, disingkat CCD).[9]
Setelah ditandatanganinyaPerjanjian San Francisco dan Jepang kembali menjadi negara berdaulat,Toho danToei membuat filmChūshingura yang segera diikuti oleh film-film pertarungan pedang lainnya.[7] Film pertarungan pedang mulai dibuat lagi di Studio Film Toei Kyoto untuk menandingifilm koboi produksiHollywood. Pada tahun 1950-an, film samurai dibuat secara massal sebagaiprogram picture atau film dengan biaya produksi murah yang dibintangi aktor dari studio. Masa keemasan film Jepang berlangsung dari tahun1950 hingga1960.[9] Kepopuleran film Jepang lalu menurun setelah meluasnya kepemilikan televisi.[9] Awal dekade 1960-an adalah periode transisi antara film samurai danfilm yakuza. Setelah diedarkannyaJūsan-nin no Shikaku (1963) karya sutradaraEiichi Kudo,Toei memindahkan fokus produksinya darijidaigeki ke genre film yakuza.
|access-date=
membutuhkan|url=
(bantuan)|access-date=
membutuhkan|url=
(bantuan)|access-date=
membutuhkan|url=
(bantuan)|date=
(bantuan)|date=
(bantuan)