Dewan Kardinal atau yang bernama resmi Dewan SuciGereja Katolik Roma (Bahasa Inggris:Sacred College of the Holy Roman Church; Bahasa Latin:Sancta Romana Ecclesia, S.R.E.) adalah badan yang menampung semua kardinalGereja Katolik Roma di dalamnya. Dewan ini memiliki dua peran dalam Gereja:
- mengikuti proses pemilihan Sri Paus ketikaTahta Suci kosong,[1] dan
- memberikan masukan kepada Sri Paus mengenai masalah-masalah Gereja ketika Sri Paus memanggil mereka ke dalam sebuah konsistori (pertemuan) biasa.[2]
Berdasarkan sejarah, para kardinal ini juga adalah rohaniwan kota Roma yang melayani Sri Paus sebagaiUskup Roma dan diberikan tugas-tugas di berbagai paroki di kota tersebut. Dewan ini tidak memiliki kekuasaan memerintah kecuali dalam masasede vacante (kekosongan Tahta Suci), di mana kekuasaannya juga sangat terbatas menurut Konstitusi ApostolisUniversi Dominici Gregis. Sejarah Dewan Kardinal sebagai sebuah dewan dapat ditelusuri hingga awal abad ke-12 ketika para uskup kardinal, imam kardinal dan diakon kardinal berhenti berfungsi sebagai kelompok-kelompok yang terpisah.[3]
Asal usul Dewan Kardinal ada hubungannya dengan peristiwa-peristiwa di sekitar penobatan Henry IV sebagai RajaJerman dan Kaisar Romawi Suci pada usai enam tahun, setelah kematianHenry III yang mendadak pada tahun 1506. Hingga saat itu kekuasaan sekuler memiliki pengaruh yang besar terhadap siapa yang akan ditunjuk menjadi Sri Paus, dan Kaisar Romawi Suci, terutama, memiliki kemampuan khusus untuk menunjuk Paus tersebut. Hal ini adalah sesuatu yang sangat penting semenjak tujuan dan pandangan Kaisar Romawi Suci danGereja Katolik Roma tidaklah selalu sejalan.
Para anggota yang kemudian dikenal sebagai Reformasi Gregorian mengambil kesempatan dari hadrinya raja baru dan lemahnya kekuasaannya, dan pada tahun 1059 mengumumkan bahwa pemilihan Sri Paus merupakan sepenuhnya urusan Gereja. Hal ini merupakan bagian dari sebuah usaha perebutan kekuasaan yang lebih luas, yang disebut Kontroversi Pentahbisan (Bahasa Inggris:Investiture Controversy), saat pihak Gereja mencoba untuk meraih kontrol yang lebih besar terhadap rohaniwan Gereja, dan sejalan dengan hal ini berarti juga meraih pengaruh yang lebih besar di kawasan dan pemerintahan di mana para rohaniwan ini ditugaskan. Mengenyampingkan implikasi teologis, pendiriannya menjadi contoh perpindahan besar dalam keseimbangan kekuasaan di dunia Abad Pertengahan awal.
Kepala Dewan Kardinal dan wakilnya adalah Presiden dan Wakil Presiden dewan tersebut. Mereka berdua dipilih oleh dan dari para kardinal yang memegang jabatan di keuskupan-keuskupan sekitar Roma (Bahasa Inggris:suburbicarian dioceses), namun pemilihannya harus diresmikan oleh Sri Paus. Kecuali untuk status memimpin, Kepala Dewan Kardinal tidak memiliki kekuasaan pemerintahan terhadap para kardinal, melainkan hanya bertindak sebagaiprimus inter pares atau sebagai yang paling senior di antara semuanya.
Menteri Luar Negeri, para pejabat KongregasiKuria Romawi,Camerlengo Gereja Romawi Suci,Vikaris JendralRoma, dan paraPatriarkVenesia danLisbon, semua biasanya adalah para kardinal dengan beberapa (biasanya berstatus sementara) pengecualian. Dasar Hukum Negara Vatikan Kota mengharuskan bahwa orang-orang yang diangkat ke dalam badan legislatif negara, Komisi Kepausan untuk Negara Kota Vatikan, adalah para kardinal.[4]