Peningkatan otonomi, termasuk hak untuk mengadopsi hukum berdasarkan sistem hukum lokal (tradisional) di Kaledonia Baru. Dalam konteks Indonesia, dasar hukum desentralisasi di Indonesia adalah UU No. 22 dan 25 Tahun 1999 (sekarang UU No. 32 dan 33 Tahun 2004), yang juga secara dinamis mengalami perubahan di tahun 2014. Kewenangan pemerintah pusat menyusut hanya mencakup pertahanan, agama, peradilan, urusan luar negeri, utang, dan pengelolaan keuangan. Di sisi lain, kewenangan pemerintah kabupaten diperluas untuk mencakup pekerjaan umum, kesehatan, pendidikan dan budaya, pertanian, komunikasi, industri dan perdagangan, penanaman modal, lingkungan, pertanahan, koperasi, dan tenaga kerja.[1]
Menurut Rondinelli dan Cheema (1983), manfaat signifikan dari desentralisasi, antara lain:
1.. Menjadi sarana mengatasi keterbatasan perencanaan nasional terpusat.
2. Memotong sejumlah rantai birokrasi dan prosedur yang sangat terstruktur.
3. Meningkatkan pengetahuan dan kepekaan para pejabat terhadap masalah dan kebutuhan daerah.
4. Memungkinkan "penetrasi" kebijakan politik nasional yang lebih baik ke daerah-daerah yang jauh dari ibukota nasional.
5. Memungkinkan perwakilan yang lebih besar (dalam berbagai kelompok politik, agama, etnis, dan suku) dalam pengambilan keputusan pembangunan yang menghasilkan kesetaraan dalam alokasi sumber daya.
6. Memperluas kapasitas lembaga pemerintah daerah dan swasta untuk mengambil alih fungsi yang biasanya tidak dilakukan dengan baik oleh kementerian pusat.
7. Meningkatkan efisiensi pemerintah pusat.
8. Menyediakan struktur yang mampu mengkooordinasikan secara efektif berbagai kegiatan kementerian dan lembaga pemerintah pusat.
9. Melembagakan partisipasi warga dalam perencanaan dan pengelolaan pembangunan.
10. Mengimbangi pengaruh atau kontrol atas kegiatan pembangunan oleh elite lokal yang berakar.
11. Menciptakan proses administrasi yang lebih fleksibel, inovatif, dan kreatif.
12. Memungkinkan pemimpin lokal untuk menemukan layanan dan fasilitas secara lebih efektif di dalam masyarakat.
13. Meningkatkan stabilitas politik dan persatuan nasional melalui partisipasi kelompok secara langsung dalam pembuatan keputusan pembangunan.
14. Meningkatkan jumlah barang dan jasa publik dan efisiensi yang diberikan dengan biaya lebih rendah[3]
Menurut UU No. 32 Tahun 2004, dalam BAB III Pembagian Urusan Pemerintahan, Pasal 13 dan mengenai kewenangan pemerintah daerah provinsi, dibagi menjadi dua:
(1) Urusan wajib yang menjadi kewenangan pemerintahan daerah provinsi merupakan urusan dalam skala provinsi yang meliputi: a. perencanaan dan pengendalian pembangunan; b. perencanaan, pemanfaatan, dan pengawasan tata ruang; c. penyelenggaraan ketertiban umum dan ketentraman masyarakat; d. penyediaan sarana dan prasarana umum; e. penanganan bidang kesehatan; f. penyelenggaraan pendidikan dan alokasi sumber daya manusia potensial; g. penanggulangan masalah sosial lintas kabupaten/kota; h. pelayanan bidang ketenagakerjaan lintas kabupaten/kota; i. fasilitasi pengembangan koperasi, usaha kecil, dan menengah termasuk lintas kabupaten/kota; j. pengendalian lingkungan hidup; k. pelayanan pertanahan termasuk lintas kabupaten/kota; l. pelayanan kependudukan, dan catatan sipil; m. pelayanan administrasi umum pemerintahan; n. pelayanan administrasi penanaman modal termasuk lintas kabupaten/kota; o. penyelenggaraan pelayanan dasar lainnya yang belum dapat dilaksanakan oleh kabupaten/kota; dan p. urusan wajib lainnya yang diamanatkan oleh peraturan perundang-undangan.
Urusan pemerintahan provinsi yang bersifat pilihan meliputi urusan pemerintahan yang secara nyata ada dan berpotensi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat sesuai dengan kondisi, kekhasan, dan potensi unggulan daerah yang bersangkutan.