Karier politik Abdelmadjid Tebboune telah ditandai oleh berbagai tantangan dan manuver strategis yang signifikan sejak ia memangku jabatan presiden Aljazair pada bulan Desember 2019. Pemilihannya terjadi setelah protes meluas yang dikenal sebagai gerakan Hirak, yang menuntut perubahan sistemik dan hengkangnya elite politik yang terkait dengan mantan Presiden Abdelaziz Bouteflika. Naiknya Tebboune ke tampuk kekuasaan kontroversial, karena ia dianggap sebagai penerus rezim lama, yang menyebabkan ketidakstabilan politik dan perbedaan pendapat publik yang berkelanjutan.[3]
Setelah menjabat, Tebboune menghadapi tantangan langsung dalam menstabilkan lanskap politik. Upaya pemerintahannya untuk terlibat dengan gerakan Hirak disambut dengan skeptisisme, karena banyak aktivis memandang pemerintahannya sebagai perpanjangan dari rezim sebelumnya, bukan entitas reformis sejati. Meskipun ia berjanji akan melakukan reformasi konstitusional dan pemilihan umum lebih awal, iklim politik tetap penuh dengan ketegangan, dan upayanya untuk meredam perbedaan pendapat melalui konsesi terbatas, seperti pembebasan tahanan politik, sebagian besar dianggap tidak memadai.[4][5]
Kebijakan luar negeri Tebboune juga menjadi titik fokus kepresidenannya. Ia berupaya untuk meningkatkan peran Aljazair di panggung internasional, khususnya dalam konflik regional seperti perang saudara Libya, di mana ia memosisikan Aljazair sebagai mediator.[6] Pemerintahannya telah menekankan penguatan hubungan dengan negara-negara seperti Rusia, yang tetap menjadi pemasok senjata penting bagi Aljazair, yang mencerminkan perubahan strategis dalam hubungan luar negeri. Lebih jauh, pemerintahannya telah memulai rencana kerja sama ekonomi dengan negara-negara Sahel, yang bertujuan untuk meningkatkan pengaruh Aljazair di kawasan tersebut.[7]
Di dalam negeri, pemerintahan Tebboune telah bergulat dengan tantangan ekonomi yang diperburuk oleh pandemi COVID-19 dan penurunan pendapatan minyak. Pemerintahannya telah mengusulkan berbagai reformasi ekonomi, tetapi inisiatif-inisiatif ini telah berjuang untuk mendapatkan daya tarik di tengah ketidakpuasan publik yang terus-menerus atas pengangguran dan inflasi yang tinggi.[8][9] Ketergantungan pemerintah pada ekonomi informal sebagai sumber pendapatan potensial telah disoroti sebagai strategi penting untuk mengurangi tekanan fiskal.[10] Namun, efektivitas langkah-langkah ini masih belum pasti, dan lanskap politik terus dicirikan oleh kurangnya kepercayaan dan keterlibatan publik.[11]